TAFSIR, TA’WIL DAN KAIDAHNYA
Ketahuilah, bahwa umat Islam sepeninggal Rosulalloh SAW tetap meneruskan jejak langkahnya sampai sekarang baik yang bersifat ubudiyah, muamalah sosial termasuk penelaahan terhadap dan Tafsirnya. Kitab-kitab tafsir yang memenuhi perpustakaan-perpustakaan di Timur Tengah merupakan bukti nyata yang menujukan betapa tingginya semangat dan besarnya perhatian para ulama untuk menggali dan memahami makna-makna kandungan Kitab Al-Qur’an tersebut. diantara sahabat-sahabat yang yang terkenal sebagai ahli tafsir ada sepuluh orang diantaranya; Abu Bakar Syidiq, Umar bin Khotob ‘Usman bin Afan, Ali bin abi Thalib, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy’ary dan Abdulah bin Zubair.
Diantara empat kholifah yang paling banyak diriwayatkan tafsimya ialah; Ali bin Abi Tholib, selain Ali bin Abi Tholib ada lagi dari kalangan sahabat lainnya yaitu lbnu Mas’ud yang wafat di madinah pada tahun 32 H.
A. ARTI TAFSIR
Sebagaimana kita ketahui, bahwa kesempurnaan agama duniawi, sekarang maupun nanti, tidak akan sempuma keculai melalui ilmu-ilmu syari’ah dan pengetahuan agama, dan ilmu itu hanya diperoleh melalui orang-orang yang dipercaya (Al-Ma’mun), yang tidak dinodai kesalahan, dan melalui kitab-kitab yang diturunkan kepada orang-orang yang terpercaya tersebut, al-Kitab itu tiada lain yaitu al-Qur-an dan orang yang dipercaya itu adalah Muhammad SAW. Untuk lebih mudah dan cepat memahami Al-Qur’an tersebut, maka perlu mempelajari tafsir dan ilmunya
Tafsir secara harfiah (etimologi) berarti “Menjelaskan dan Mengungkapkan” atau Menerangkan, sedangkan menurut istilah (terminologi) tafsir ialah Ilmu yang menjelaskan maksud ayat al-Qur’an sesuai dengan kemampuan manusia (setelah memenuhi syarat-syarat tertentu).
Menurut al-Ragib al-Asfahani, tafsir itu luas pengertiannya dan sasaranya adalah “kata dan maksud kata itu”. Sedangkan menurut al-Maturidi, tafsir adalah; “memastikan makna kata berdasarkan petunjuk yang pasti”.
Menurut al-Kilby dalam At Tas-hiel:
التفسير هو شرح القران وبيان معناه والافصاح بما يقتضيه بنصه او اثارته او مجواه
Artinya: “Tafsir itu ialah Mensyarahkan Al-Qur’an, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendakinya dengan nasnya atau dengan isyaratnya, ataupun dengan tujuannya”.
Menurut Az-Zarkasiy dalam al-Burhan.
التفسير هو بيان معانى القران واستخراج احكامه وحكمه
Artinya: Tafsir itu ialah; Menerangkan makna-makna al-Qur an dan mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya”.
Bagi ulama-ulama mutaahirin, tafsir itu adalah mengungkapkan makna lahiriyah dari pernyataan Al-Qur’an, seringkali pada suatu tempat berbicara secara sepintas lalu mengenai masalah tertentu, maka ada kalanya suatu ayat ditafsirkan oleh ayat lain. Oleh karena itu, sumber tafsir yang utama adalah Al-Qur’an itu sendiri. Sumber tafsir kedua adalah Nabi, dan bila Nabi sendiri tidak menjawab dari masalah yang ditanyakan maka turun ayat yang menjelaskannya. Setelah Nabi wafat, sahabat adalah sumber tafsir ketiga yang menjelaskan ayat berdasarkan yang mereka dengar dari nabi sewaktu masih ada, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau ijtihad mereka sendiri.
Kegiatan mufasir pada periode ini lebih banyak ditujukan pada penjelasan teks qira’at mutawatir, selanjutnya pada periode tabi’in terdapat tiga pusat tafsir yaitu di Mekah yang bersumber pada abd Alloh bin Abbas yang kemudian dikembangkan muridnya yaitu; Sa’ad bin Jabir Muiahid bin Jabr. ikrimah. Tawus bin Kisan al Yamani dan Ta’bi bin Rabah.
Pusat tafsir Kedua yaitu di Madinah sahabat yang mengembangkannya yaitu ubay bin Ka’ab yang dilanjutkan murid-muridnya yaitu: Abu al-Aliyyah, Muhammad bin Ka’ab al-Quraiysi dan Zaid bin Aslam. Adapun pusat tafsir yang ketiga yaitu di Kufah yang berasal dari Abdullah bin Masud dilanjutkan oleh al-Qamah bi Qais, Masruq, Al-Aswad bin Yajid, Murah al-Hamdani, Amir al-Syabi, at-Haan al-Basri dan Qatadah.
B. METODE TAFSIR
Para ulama telah menulis dan mempersembahkan karya-karya mereka di bidang tafsir, dan menjelaskan metode-metode yang digunakan oleh masing-masing tokoh tafsir. Metode-metode tafsir yang dimaksud adalah: Metode Thalily, Metode Ijmali dan Metode Muqoron.
C. AI-Tafsir Tahlily
Tafsir al-Tahily adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan Kandungan ayat-ayat al-Qur’an dar seluruh aspeknya, penafsirannya mengikuti runtutan. ayat sebagaimana yang telah tersusun di dalam mushaf. Penafsir memulai uraiannya dengan menggunakan arti kosa Kata diikuti dengan penjelasannya mengenai arti globalnya ayat. Ia juga mengemukakan munasabah (korelasi) ayat-ayat serta menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat tersebut satu sama lain.
Selanjutnya, mereka juga mempunyai kecenderungan dan arah penafsiran yang aneka ragam (potnot suyuti) ditinjau dari segi kecenderungan para penafsirnya, methode Tahlily ini dapat dibedakan kepada (1) al-tafsir bi al-Ma’tsur (2) al-Tafsir bi al-ra’yi (3) al-Tafsir al-Sufi (4) al-Tafsir al-Fiqhi (5) alTafsir al-Falsafi (6) al-Tafsir a- ‘Ilmi (7) al-Tafsir al-Adab al-Ijtima’i.
1. AI-Tafsir bi Al-Ma’tsur
Al-Tafsir bi Al-Ma’tsur adalah penafsiran ayat dengan ayat; penafsiran ayat dengan hadits yang menjelaskan makna sebagai ayat yang dirasakan sulit dipahami para sahabat atau penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para sahabat;atau penafsiran dengn hasil ijtihad para tabi’in. semakin jauh rentang zaman dari masa Nabi dan sahabat, maka pemahaman umat tentang makna-makna Al-Qur’an semakin bervariasi dan berkembang. Periodesasi perkembangan al Tafsir bin al-Ma’tsur ini ada dua , yaitu;
Pertama: Periode lisan ini lazim di sebut periode periwayatan. Pada periode ini adalah para sahabat menukil atau mengambil penafsiran dari Rosululloh SAW. Atau oleh sahabat dari sahabat atau oleh tabi’in dari sahabat, dengan cara penukilan yang apa dipercaya, teliti dan memperhatikan jalur periwayatannya.
Kedua: Periode Tadwin (kodifikasi-penulisan). Pada periode ini, yang proses penukilannya Pada periode pertama, dicatat dan dikodifikasikan. Pada mulanya kodifikasi tersebut dimuat dalam kitab-kitab hadits, setelah tafsir resmi menjadi disiplin ilmu yang otonom, maka ditulis dan terlibatlah karya-karya tafir yang secara khusus memuat tatsir bil-al-ma’tsur lengkap dengan jalur sanad sampai kepada Rosulaloh SAW, kepada para sahabat, tabi’in dan tabi’in al-tabi’in.
2. AI-Tafsir bi Al-Ra’y
AI-Tafsir bi al-Ra’y adalah penafsiran Al-Qur’an dengan jalan ijtihad, terutama setelah seorang penafsir itu betul-betul mengetahui perihal bahasa Arab, asba al-nuzul, nasikh-mansukh dan hal-hal lain yang diperlukan oleh lazimnya seorang penafsir.
3. AI-Tafsir al-Sufi
Seiring dengan perkembangan cakrawala budaya dan berkembang pesatnya ilmu pengetahuan, Tasauf dan membentuk kecenderungan para penganutnya menjadi dua arah yang mempunyai pengaruh di dalam penafsiran al-Qur’an al-Karim
a. Tasauf Teoritis
Para penganut aliran ini mencoba meneliti dan mengkaji al-Qur’an berdasarkan teori-teori mazhab dan sesuai dengan ajaran-ajaran mereka, mereka berupaya maksimal untuk menemukan di dalam al-Qur’an tersebut, faktor-faktor yang mendukung teori dan ajaran mereka. Sehingga mereka tampak terlalu berlebih-lebihan di dalam memahami ayat-ayat dan penafsirannya sering keluar dari arti dazhir yang dimaksud oleh syara dan didukung oleh kajian bahasa. Penafsiran yang demikian ditolak, dan sangat<span> </span>sedikit jumlahnya.
b. Tasauf Praktis
Yang dimaksud dengan Tasauf praktis adalah; tasauf yang mempraktekan gaya hidup sengsara, zuhud dan meleburkan diri di dalam ketaatan kepada Alloh Ta’ala. Para tokoh aliran , menamakan tafsir mereka dengan al-Tafsir al-Isyari, yaitu menta’wil ayat-ayat, berbeda dengan arti zahirnya, berdasarkan isyarat-isyarat tersembunyi yang hanya tampak jelas oleh pimpinan suluk, namun tetap dapat dikompromi dengan arti zhahir yang dimaksud. Penafsiran semacam ini dapat diterima selama memenuhi kriteria atau syarat-syarat berikut:
1) Tidak menafikan arti zhahir ayat
2) Didukung oleh adili syara tertentu
3) Tidak bertentangan dengan syara dan akal
4) Penafsiran tidak boleh mengklaim. bahwa itulah satu-satunya penafsiran yang di maksud dan menafikan sepenuhnya arti zhuhir, akan tetapi harus mengakui at zahir tersebut lebih dahulu.
4. Al-Tafsir Al-Fiqhi
Berbarengan dengan lahirnya al-Tafsir bi al-Ma,stur, lahir pula al-Tafsir al-Fiqhi dan sama-sama di nukil dari nabi SAW tanpa perbedaan antara keduanya. Para sahabat setiap menemukan kesulitan untuk memahami hukum yang di kandung oleh al-Qur’an langsung bertanya Kepada Rosullulah, dan beliau langsung menjawab. Jawaban rosululloh SAW ini, di satu pihak, adalah al-Ma’tsur dan di lain pihak, sekaligus sebagai tafsir al-Fiqhi. Sepeninggalannya Rosulluloh SAW, para sahabat langsung mencari keputusan hukum dari alQur’an dan berusaha menarik Kesimpulan hukum syariah berdasarkan ijtihad; hasil ijtihad mereka ini disebut Tafsir al-Fiqhi. Demikian pula halnya yang terjadi dimasa dan dikalangan para tabi’in, sehingga tafsir ini terus tumbuh dan berkembang bersama dengan pesatnya perkembangan ijtihad.
1. Tafsir al-Falsafy
Latar belakang lahirnya tafsir ini karena berbagai corak tafsir, juga karena tersebar luasnya dan bertemunya aneka kebudayaan diwaktu itu. Ditengah-tengah pesatnya perkembangan ilmu dan budaya ini, gerakan penerjemah tumbuh dan giat dilaksanakan di masa Dinasti Abbas. Berbagai pembendaharaan ilmu digali. dan aneka pustaka diterjemahkan. Termasuk buku-buku filsafat karya para filosof Yunani.
Pertama; Golongan yang menolak falsafah, karena mereka menemukan adanya pertentangan antara falsafah dan agama, Kelompok ini secara radikal menentang falsafah dan umat darinya. Tokoh pelopor kelompok ini adalah al-Imam al-Ghazali dan al-Fakr al-Razi. Tokoh yang disebut terakhir ini, di dalam kara tafsimya, membeberkan ide-ide falsafah yang dipandang bertentangan dengan agama, khususnya dengan al-Qur’an, dan akhirnya ia dengan tegas menolak falsafah berdasarkan alasan dan dalil yang ia anggap memadai.
Kedua; Golongan yang mengagumi dan menerima filsafat. Meskipun di dalamnya terdapat ide-ide yang bertentangan dengan syara. Kelompok ini berupaya mengkompromikan atau mencari titik temu antara filsafat dan agama serta berusaha untuk menyingkirkan segala pertentangan. Namun usaha mereka belum berhasil mencapai titik temu yang final, melainkan masih berupaya usaha pemecahan masalah secara setengah-setengah, sebab penjelasan mereka tentang ayat-ayat al-Qur’an semata-mata berangkat dari sudut pandang teori falsafah yang didalamnya banyak hal tidak mungkin diterapkan dan dipaksakan terhadap nash-nash al-Qur’an.
1. Tafsir Ilmi
Ajakan al-Qur’an adalah ajakan ilmiah, yang berdiri diatas prinsip pembebasan akal dari tahayul keme<span>r</span>dekaan berpikir. AI-Quran menyuruh umat manusia memperhatikan alam. Alloh SWT disamping menyuruh kita memperhatikan wahyu-Nya yang tertulis. Sekaligus disuruh memperhatikan alam sekitarnya, terbukti dengan banyak ayat yang terdapat dalam Qur’an dengan kalimat.
Meskipun ayat-ayat kauniyah itu secara tegas dan khusus tidak ditujukan kepada para ilmuwan, namun pada hakikatnya mereka itulah yang diharapkan untuk meneliti dan memahami ayat-ayat kauniyah tersebut, karena mereka mempunyai sarana dan kopetensi untuk itu dibanding tokoh –tokoh bidang ilmu lainnya.
Akan tetapi, terhadap ayat-ayat kauniyah tersebut masih terbatas pada ayat-ayat tertentu dan bersifat parsial, terpisah dari ayat-ayat lain yang berbicara mengenai masalah yang sama.
Diantara para ulama terdahulu yang gigih mendukung corak tafsir al-Ilmi adalah;
- al-Imam al-Fakh al-Razi. dengan tafsimya Mafatih I-Ghaib
- al-Imam al-Ghazali. Jawahir al-Qur’an dan Ihya `Ulmud-Din
- al-Imam al-Suyuthi dengan kitabnya al-Itqan
Dewasa ini meskipun ada ulama yang menolak, karya-karya tafsir corak ini mulai bermunculan dan mendapat perhatian besar dari para peneliti dan ilmuwan.
2. Al-Tafsir al-Adabi al-Ijtima’l
Corak tafsir ini memahami nash-nash al-Qur’an dengan cara, pertama dan utama, ungkapan-ungkapan al-Qur`an secara teliti; selanjutnya menjelaskan makna yang maksud oleh Al-Qur’an tersebut dengan gaya bahasa yang indah dan dan menarik langkah berikutnya, penafsir berusaha menghubungkan nash-nash al-Qur’an yang tengah dikaji dengan kenyataan sosial dan sistem budaya yang ada. Pembahasan tafsir ini sepi dari penggunaan istilah-istilah ilmu dan teknologi dan tidak akan menggunakan istilah-istilah tersebut kecuali jika dirasakan perlu dan hanya sebatas kebutuhan.
D. AL-TAFSIRAL-IJMALY
AI-Tafsir al-Ijmali adalah suatu metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan mengemukakan makna global. Di dalam sistematik uraiannya, penafsir akan membahas ayat demi ayat sesuai dengan susunan yang ada dalam mushaf; kemudian mengemukakan makna global yang dimaksud oleh ayat tersebut. Maka yang diungkapkan biasanya diletakan di dalam rangkaian ayat-ayat atau menurut pola-pola yang diakui oleh jumhur ulama, dan muda dicerna, dipahami oleh semua orang.
Dengan demikian, penafsiran metode ini mengikuti cara dan susunan al-Qur’an yang membuat masing-masing makna saling berkaitan dengan yang lainnya.
E. AL-TAFSIR AL-MUQARAN (Metode Perbandingan)
Yang dimasksud dengan metode ini adalah; mengemukakan penafsiran ayat alQuran yang ditulis oleh sejumlah para penafsir. Disini seorang penafsir menghimpun sejumlah ayat al-Qur’an, kemudian ia mengkaji dan meneliti penafsiran sejumlah penafsir mengera melalui kitab-kitab tafsir mereka, apakah mereka penafsir dari generasi salaf atau dar generasi kholaf, apakah tafsir mereka itu Tafsir bi al-Ma’stur maupun Tafsir abi al-Ra’yu.
Corak tafsir Mukoron ini mempunyai ruang lingkup dan wilayah kajian yang luas. Methode ini dapat juga dilakukan dengan cara memperbandingkan sejumlah ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara satu topik masalah, atau memperbandingkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hadits-hadits Nabi yang secara lahiriyah tampak berbeda.
F. Arti Ta’wil
Takwil secara lughawi berarti “pengembalian“ tetapi dalam rangka penafsiran Al-Qur’an, kata itu telah mengalami perkembangan makna. Ulama-ulama salaf memberikan pengertian Takwil adalah; sama maksudnya dengan tafsir, sedangkan ulama-ulama Mutaakhirin mendefinisikan takwin ialah; memilih suatu makna kata yang dipandang lebih kuat dari pada banyak makna karena terdapat alasan yang kuat untuk itu.
Menurut As-Said Al Jurjany:
التأويل هو صرف اللفط عن معناه الظاهر الى معنى يحتمله اذا كان للمحتمل الذى يراه موافقا للكتاب والسنة
Artinya: Ta’wil ialah; Memalingkan Lafadh dari makna yang dhahir kepada makna yang muhtamil, apabila makna yang muhtamil itu tidak berlawanan dengan Al-Qur’an dan Assunnah.
Para ulama membedakan antara Ta’wil dan tafsir dan dari sasaran dan alat yang dipakai untuk menerangkan makna. AI-Raghib al-Asfahani berpendapat bahwa Ta’wil lebih menekankan segi makna. Al-Maturidi menyatakan Takwil adalah menetapkan suatu pengertian dari sekian banyak banyak kosa kata Al-Qur’an berdasarkan alasan yang kuat untuk itu. Abu Thalib Al-Tsa’labi, menjelaskan bahwa Takwil menerangkan arti yang tersembunyi dari kata-kata Al-Qur’an. AI-Bagawi menyatakan Takwil adalah; mengalihkan makna ke makna lain yang dimungkinkan selama tidak bertentangan dengan ayat lain dan sunnah.
Para ulama telah bersepakat bahwa mempelajari tafsir itu termasuk Fardu kifayah ini termasuk salah satu dari sekian banyak ilmu agama. Al-Qur’an diturunkan oleh Alloh dengan menggunakan bahasa Quraisy, disesuaikan dengan dialek Bangsa Arab.
Para Mufasir telah berselisih pendapat dalam memberi makna Tafsir dan Ta’wil: Kata Abu Ubaidah; tafsir dan Ta’wil satu makna. Kata Ar Raghib Al Asfahany; Tafsir lebih umum daripada Ta’wil. Dia lebih banyak dipakai mengenai kata-kata tunggal. Sedangkan ta’wil lebih banyak dipakai mengenai makna d a n susunan Kalimat. Kata Al-Maturidy Tafsir ialah; menetapkan apa yang dikehendaki oleh ayat (lapadh) dan dengan sungguh-sungguh menetapkan; demikianlah yang dikehendaki Alloh Maka jika ada dalil yang membenarkan penetapan itu, dipandanglah tafsir yang shaih. Kalau tidak, dipandanglah tafsir yang fikiran yang tidak dibenarkan. Ta’wil ialah; mentarjehkan salah satu makna yang mungkin di terima oleh ayat (Lafadh) yakni salah satu muktamilat, dengan tidak meyakini bahwa demikian yang sungguh-sungguh di kehendaki Alloh.
G. Kegunaan Tafsir
Tafsir al-Qur’an al-Karim itu mempunyai banyak kegunaan atau faedah, antara lain:
1. Mengetahui sesuai dengan kemampuan, maksud Alloh yang terdapat di dalam syari’at-Nya yang berupa perintah dan larangan, yang dengannya keadaan manusia menjadi lurus dan benar.
2. Untuk mengetahui petunjuk Alloh mengenai akidah, ibadah, dan Akhlaq, agar individu dan masyarakat berhasil memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
3. Untuk mengetahui aspek-aspek kemu’jizatan di dalam al-Qur’an Al-Karim, sehingga orang mempelajari hal tersebut sampai kepada keimanan terhadap kebenaran Risalah Nabi SAW.
H. Syarat-syarat Penafsir
Orang yang bermaksud menafsirkan Al-Qur’an Al-Karim harus memenuhi syarat-syarat tertentu diantaranya :
1. Memiliki I’tikad yang benar dan mematuhi segala aturan ajaran islam. Seseorang yang mendustakan Agama tidak dapat dipercaya dalam soal keduniaan, maka bagaimana ia dapat dipercaya dalam soal urusan agama? Begitu pula, seseorang yang dituduh menyimpang dari ajaran agama tidak dapat dipercaya, karena ia akan menyebarkan fitnah dan akan menyesatkan orang banyak dengan kebohongannya. Demikian pula orang yang di duga di kendalikan oleh hawa nafsu, sangat mungkin hawa nafsu akan mendorongnya sesuai dengan keinginan nafsunya tersebut.
2. Mempunyai Tujuan yang benar Artinya, seorang penafsir, dengan karya tafsirnya, harus semata-mata bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Alloh bukan untuk tujuan lain, seperti untuk mendapatkan pujian atau sanjungan, mencari popularitas dan tujuan lainnya selain mendekatkan diri kepada Alloh Swt. sebab seseorang mencintai dunia, maka sangat mungkin ia menggunakan karyanya untuk mencapai tujuan-tujuan duniawi. Hal demikian dapat memalingkan dari niat atau tujuan semula sehingga nilai amalnya bisa rusak.
3. Seorang mufasir seyogyanya hanya berpegang kepada dalil nakli dari Nabi, dari sahabat, dan orang-orang yang hidup sejaman dengan mereka, serta menghindari segala sesuatu yang tergolong bid’ah.
4. Seorang Mufasir harus mempunyai ilmu-ilmu yang semestinya diperlukan oleh penafsir, yaitu ada lima belas macam ilmu.
Ilmu yang harus di kuasai oleh Mufasir:
1. Ilmu Bahasa Arab, sebab hanya dengan ilmu ini arti dan maksud kosakata dapat diketahui.
2. Ilmu Nahwu. Karena arti suatu kosakata selalu berubah dan berbeda-beda menurut perbedaan statusnya (I’rab) di dalam stuktur kalimat, maka Ilmu Nahwu ini penting di mengerti.
3. Ilmu Tashrif atau Ilmu Sharf. Karena dengan ilmu ini bentuk Kosa kata dan kalimat dapat diketahui.
4. Ilmu Istiqaq (asa!-usul kosa kata). Sebab suatu isim (kata benda) itu mempunya arti yang berbeda apabila pengambilannya berasal dari dua akar kata yang berbeda seperti kosa kata al-masil apakah berasal dari kata al-siyahah atau dari akar kata al-mashu ?.
5. Ilmu al-Ma’ani. Dengan ilmu ini karakteristik struktur kalimat dapat diketahui dari segi indikasi maknannya.
6. Ilmu al-Bayan. Dengan ilmu ini karakteristik stuktur kalimat dapat diketahui dari segi perbedaannya berdasarkan Kejelasan dan ketidak jelasan indikasinya.
7. Ilmu Badai’ Dengan ilmu ini segi-segi keindahan kalimat dapat diketahui. Ketiga macam ilmu ini disebut dengan ilmu al-Balaghah, Ini merupakan ilmu yang paling penting bagi seorang mufasir, sebab seorang penafsir dituntut harus memperhatikan aspek-aspek kemukjizatan al-Qur’an.
8. Ilmu al-Qira’at. Melalui ilmu ini cara mengucapkan al-Qur’an dapat di ketahui, dan dengan ilmu ini bacaan-bacaan yang masih mengandung beberapa kemungkinan dapat di tarjih
9. Ilmu Ushuluddin. Didalam al-Qur’an ini ada ayat-ayat yang arti zahirnya tidak boleh ditunjukan kepada Alloh . Oleh sebab itu para ahli ushuluddin menta’wilkan arti ayat tersebut dengan menggunakan argumen atau dalil mengenai yang mustahil, yang wajib dan yang boleh,
10. Iimu Ushul al-Faqh. Melalui ilmu ini arah istidlal dan istinbhat hukum dapat diketahui.
11. Ilmu Asbab-an-Nuzul. Dengan ilmu ini maksud suatu ayat dapat diketahui sesuai dengan peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat tersebut
12. An-Nasikh dan al-Mansukh, untuk membedakan dan mengetahui antara lafazh muhkam dan yang lainnya.
13. Ilmu Fiqh.
14. Hadits-hadits Nabi, yang menafsirkan mujmal dan mubham.
15. Ilmu al-Mauhibah, yaitu ilmu yang di anugrahkan oleh Alloh kepada orang yang mengamalkan apa yang ia ketahui.
I. Kaidah-Kaidah Tafsir
Kaidah berarti aturan dan aturan berarti penentuan antara yang benar dan yang salah. Maka kaidah tafsir membenkan pengertian aturan yang disusun agar bisa menghindarkan dari penafsiran yang salah. dengan premis diatas dapat kita asumsikan bahwa para ulama ahli tafsir dalam menentukan kaidah-kaidah tafsir al-Qur’an tidak dibuat secara sembarangan tapi dengan penuh kesungguhan dan ketelitian. Sungguhpun itu sebuah upaya dan rekayasa manusiawi namun secara aksioma kita tidak memungkiri bahwa kaidan-kaidah tersebut menjadi kemestian untuk kita pahami dan kita ikuti sebelum kita memasuki dunia tafsir al-Qur’an.
Imam Asuyuthy membahas cukup panjang dan terperinci hal-hal yang berkaitan dengan Kaidah bahasa. Hal yang berkaitan dengan Dhomir (kata ganti) saja ibnu Arabi Menyusunnya secara tersendiri dalam dua jilid kaidah-kaidah kebahasaan tidak hanya yang berkaitan dengan nahwu dan sharaf tapi juga dengan ilmu pembahasan ilmu balaghah yang terdiri dari ilmu-ilmu ma’ani bayan dan badai yang antara lain pembahasannya tentang hakiki dan majazi, kinayah dan ta’aruld dan lain sebagainya.
Asy Suyuthi Abdurahman bin Nashir as-Sa’di membahas secara khusus berkenaan kaidah tafsir dalam karyanya AJ-Oowaid al-Hisan li Tafsir al-Qur’an. tidak kurang dari 70 kaidah penafsiran al-Qor’an yang la jelaskan. Beliau menyebutkan Kaidah pertama tentang cara mempelajari tafsir Setiap orang yang menelusuri suatu perjalanan, mengerjakan suatu perbuatan dan ia melakukan pendekatan secara profesiona! serta menempuh jalan-jalannya yang menentukannya kearah itu maka ia pasti beruntung dan sukses dalam perjalanannya tersebut.
Al-Qur’an satu sama lain saling menafsirkan. Oleh karena itu didalamnya teks-teks Al-Qur’an yang bersifat mantuq dan mafhum, mujmal dan mufasal, mutlaq dan muqayyad, am dan khash. Hal ini telah dikaii oleh berbagai ulama dari berbagai disiplin ilmu.
Syaikh Rasyid Ridha berkata: AI-Qur’an hanya dapat dipahami dan di mengerti oleh orang-orang yang mengkonsentrasikan mata, wajah dan hatinya dalam membacanya, baik di dalam maupun diluar shalat. Penafsiran terhadap al-Qur’an senantiasa mengacu kepada inti dan kandungan alQur’an, mengarah kepada penjelasan makna yang dikehendaki dan hukum-hukum yang terkandung dalam ayat serta menggambarkan makna yang tinggi. Menurut pola-pola yang diakui oleh jumhur ulama, dan mudah dicerna, dipahami oleh semua orang.
Dengan demikian, penafsiran metode ini mengikuti cara dan susunan alQur’an yang membuat masing-masing makna saling berkaitan dengan yang lainnya.
0 Responses
Langganan:
Posting Komentar (Atom)