Amm dan Khos
Puji dan syukur marilah kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, Zat maha Rahman, yang telah mewajibkan kepada umat Islam yang beriman untuk terus menerus mencari ilmu pengetahuan. Shalawat seiring salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Insan pilihan pembawa kebenaran penegak panji Tuhan, Nabi Muhammad SAW.
Dewasa ini, perkembangan corak kehidupan manusia pada umumnya dan umat islam pada khususnya telah memancing beberapa keputusan hukum yang cenderung dikondisionalkan, atau corak kehidupan itu sendiri yang harus dikondisionalkan dengan produk hukum syara’ yang secara konsep maupun konteks didesain untuk kemashlahatan manusia yang mau mengamalkannya. Terlepas dari hal itu, saat ini kita lihat banyak sekali Mujtahid-mujtahid era modern bermunculan dengan julukan baru “Intelektual Muslim”. Jika kita membandingkan, sepertinya kapasitas dan kapabilitas mereka belum mencapai lima puluh persen para Mujtahid zaman dulu (kalau tidak sama sekali), tetapi mereka telah berani mencetuskan hukum yang kontroversial, bahkan kadang kontradiksi dengan hukum sebelumnya. Tentu bukan sesuatu yang bijak jika kita mengklaim mereka sebagai Mujtahid sesat yang pendapatnya ngelantur tidak karuan, karena pada prinsipnya tujuan mereka adalah untuk kebaikan dan kemashlahatan. Permasalahannya adalah, ketika survai membuktikan bahwa pendapat mereka ngaco dan tidak bisa dipertanggungjawabkan, apa yang harus kita lakukan,? Barangkali jawabannya adalah diam karena Kita belum mampu bersaing dengan mereka. Betuul?
Memahami redaksi Al-Qur’an dan Al-Hadits bagaikan menyelam ke dalam samudra yang dalam lagi luas, dibutuhkan kunci, metode dan keilmuan khusus untuk sampai ke sana sehingga kita bisa mengetahui maksud dan tujuan nash al-Qur’an dan Al-Hadits baik dari sudut teks maupun dari aspek makna. Di antara beberapa pembahasan yang berkaitan dengan hal tersebut, ada dua point penting yang keduanya harus diketahui secara mendalam oleh seorang calon Mujtahid. Dua hal itu adalah tentang lafadz ‘am dan lafadz khas serta dalalahnya. Insya Allah dalam makalah sederhana ini keduanya akan dibahas. Namun perlu diketahui bahwa rangkaian kata dan untaian kalimat yang menjelaskan ke dua hal tersebut bukan dari penulis sendiri tetapi hasil transfer dan kutipan dari pendapat beberapa pakar Ushul Fiqh.
Tiada mawar yang tak berduri. Suatu perkara yang sudah selesai akan tampak kekurangannya. Dengan segala kerendahan hati saya mengharap koreksi dari rekan-rekan, terutama dari Dosen pembimbing mata kuliah Ushul Fiqh, bapak Dr. Kasuwi Saiban.
ﺍﻠﻜﺎﺘﺐ
ﺍﻠﺤﻗﻴﺮﻮﺍﻠﺒﻠﻴﺪﻋﺒﺪﺍﻠﺤﻰ
ISTINBATH (PENGAMBILAN HUKUM) SYARI’AT ISLAM
Setiap pengambilan hukum (istinbath) dalam syari’at Islam harus berpijak atas Al-Qur’an al-karim dan sunnah nabi. Dengan demikian, dalil syar’iy ada dua bentuk yaitu; Nash dan Ghoirun Nash (bukan Nash). Dalil-dalil yang tidak termasuk dalam katagori Nash seperti Istihsan dan Qiyas pada dasarnya digali, bersumber dan berpedoman pada Nash. Seorang Mujtahid harus mengetahui prosedur cara penggalian hukum (thuruq al-istinbath) dari Nash. Dalam ilmu ushul fiqh, hal tersebut dibahas dalam metodologi khusus yang tidak akan dijabarkan secara luas di sini.
Cara penggalian hukum dari Nash ada dua macam pendekatan, yaitu:
- pendekatan makna
- pendekatan lafadz
pendekatan makna adalah penarikan kesimpulan hukum bukan kepada Nash secara langsung, seperti menggunakan metode Qiyas, Istihsan, Mustalah, Dzara’i dan lain sebagainya. Sedangkan pendekatan lafadz dalam penerapannya membutuhkan beberapa paktor pendukung yang di antaranya adalah:
v Penguasaan terhadap makna (pengertian) dari lafadz-lafaz Nash serta konotasinya dari segi khusus dan umum.
v Mengetahui dalalahnya apakah menggunakan manthuq lafdzi atau menggunakan mafhum yang diambil dari konteks kalimat.
v Mengerti batasan-batasan (qoyyid) yang membatasi ibarat-ibarat Nash. Dan lain-lain.[1]
AL-‘AAM DAN AL-KHASH SERTA DALALAHNYA
Konteks Syar’iyyah di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits merupakan dua sumber hukum yang redaksinya menetapkan hukum syar’iy. konteks Al-Qur’an dan Al-Hadits tersebut bisa berupa lafadz umum atau khusus. Lafadz yang umum atau al-‘aam, ketetapan hukumnya harus diartikan kepada semua satuannya secara pasti bila di sana tidak ada dalil yang mengkhususkannya. Jika terdapat dalil yang mengkhususkan maka mengenai arahan hukumnya apakah pasti (qoth’iy) atau dugaan (dzonny), terdapat perbedaan pendapat ulama, yaitu antara golongan Ulama Jumhur (Syafi’iyyah, Malikiyyah, Hanbaliyyah) dan Hanafiyyah. Pembahasan tentang dalil takhsis (yang menghususkan) lafadz ‘am insya Allah akan diuraikan dalam bab Takhsis.
Nash Al-Qur’an dan Al-Hadits juga ada yang berupa lafadz khusus (khosh), maka hukum bisa ditetapkan secara pasti selama tidak ada dalil yang mentakwilkan atau memindahkan dan menghendaki arti yang lain. Dalam lafadz khosh ini terdapat lafadz mutlak yang dapat menetapkan hukum secara absolute dengan catatan tidak ada dalil yang mengikatnya. Jika lafadz itu berbentuk perintah (‘amar), maka obyek yang diperintahkannya wajib, atau berbentuk larangan (nahi) maka obyek yang dilarang itu haram. Hal tersebut bila tidak ada dalil yang merubah dari keharusannya atau ketidak bolehannya.
I. AL-‘AAM
I.1.Definisi al-‘aam[2]
Lafadz al-‘aam ialah yang menunjukkan tercakup dan termasuknya semua satuan-satuan yang ada dalam lafadz itu dengan tanpa menghitung ukuran tertentu dari satuan-satuan tersebut. Lafadz ﻤﻥﺃﻠﻗﻰ (barang siapa melemparkan) dalam hadits yang berbunyi:
ﻤﻥ ﺃﻠﻗﻰ ﺴﻶﺣﻪ ﻓﻬﻭﺁ ﻤﻥ adadalah lafadz umum yang dapat menunjukkan tercakupnya setiap orang yang melemparkan senjatanya, tanpa membatasi kepada perseorangan tertentu.
Keumuman termasuk sifat lafadz karena merupakan dalalah lafadz yang di dalamnya tercakup semua satuannya. Apabila lafadz ini hanya menunjukkan satu satuan seperti seorang laki-laki, atau dua satuan seperti seperti dua orang laki-laki, atau kelompok beberapa satuan seperti yang dapat dihitung seperti beberapa laki-laki, sekelompok kaum, seratus atau seribu, maka semua itu bukan termasuk lafadz yang umum.
Terdapat perbedaan antara al-‘Aam dan al-Muthlaq, al-‘Aam menunjukkan tercakupnya semua satuan dari seluruh satuannya, sedangkan al-Muthlaq hanya menunjukkan satuan atau beberapa satuan yang menonjol, bukan kepada semua satuannya. Sebagaimana pendapat para ulama ushul : ﻋﻤﻮﻡﺍﻠﻌﺎﻡ ﺸﻤﻮﻠﻲّ ﻮﻋﻤﻮﻡﺍﻠﻤﻄﻠﻕ ﺒﺩ ﻠﻲّ “keumuman al-‘Aam bersifat menyeluruh dan keumuman al-Muthlaq bersifat resperentif (mewakili). Jadi, lafadz al-“Am dapat memperoleh satuan-satuan di dalamnya sekaligus dan al-Muthlaq hanya memperoleh satuannya yang menonjol.[3]
I.2. Lafadz-lafadz al-‘am
Untuk mengetahui dan menentukan lafadz-lafadz ‘Aam, diperlukan pehaman mendalam terhadap gramatika bahasa arab terutama yang membahas morfologi pararel (shorf) dan sintaksis pararel (nahu). Dari situ akan diketahui maksud dan tujuan nash apakah arahannya umum atau khusus. Oleh karena itu, penting untuk dicatat bahwa mengetahui bahasa arab adalah 50% mengetahui ilmu ushul fiqh. Patutkah orang yang tidak memahami gramatika bahasa arab menjadi mujtahid?
Hasil analisa dan pengkajian terhadap mufrodat dan ungkapan dalam bahasa arab menyimpulkan beberapa lafadz yang arti bahasanya menunjukkan keumuman dan mencakup keseluruhannya. Dari beberapa referensi buku ushul fiqh yang ada, tidak ada perbedaan pendapat mencolok dalam penjelasan lafadz-lafadz al-‘am tersebut. Di bawah ini secara singkat akan dipaparkan pengklasifikasian lafadz-lafadz ‘am yang sering dipergunakan:
- Lafadz-lafadz yang bermakna jamak, seperti;
كلّ : كل امرئ بما كسب رهين
جميع : خلق لكم ما فى الأرض جميعا
كافّة : وقاتلواالمشركين كافة كما يقاتلونكم كافة
معاشر : نحن معاشر الأنبياء لا نورث
- Lafadz-lafadz jamak atau mufrad yang dima’rifatkan dengan Al-Jinsiyyah atau idhafah, berikut masing-masing contohnya;
- Ø إنّ الله يغفرالذ نوب جميعا
- Ø يوصكم الله فى أولاد كم
- Ø والسارق والسارقة فاقطعواأيد يهما
- Ø هو الطهور ماؤه الحلّ ميتته
- § Isim nakirah yang dinafikan (dicegah) atau yang disyaratkan, sperti contoh;
لاإكراه فى الدين
ولا تصلّ على أحد منهم مات أبدا
Isim nakirah yang mutsbat (ditetapkan), tidak mengandung pengertian umum seperti yang terdapat dalam ayat إنّ الله يأمركم أن تذبحوابقرة kecuali bila terdapat qorinah (tanda), contohnya لهم فيها فاكهة ولهم مايدّعون .
- § beberapa isim maushul, di antaranya;
ما : وما من دابّة فى الأرض إلا على الله رزقها
من : فمن كان منكم مريضا
الذين : إنّ الذ ين يأكلون أموال اليتامى ظلما
الللائى : واللائى يئسن من المحيض من نسائكم
اللاتى : واللاتى يأتين الفاخشة من نسائكم
أولات : وأولات الأحمال لأجلهنّ أن يضعن حملهن
ّ
- Isim-isim syarat, beberapa di antaranya;
من : من شهد منكم الشهر فليصمه
ما : وما تنفقوا من خير يوفّ اليكم
أي : أيّما تدعو فله الأسماء الحسنى
أينما : أينما تكونوا يدرككم الموت
إن : إن كنتم فى ريب مما نزّلناعلى عبد نا فأتوابسورة من مثله
- Isim isim istifham, sebagaimana dalam contoh-contoh berikut:
من : من فعل هذا بألهتنا يا إبراهيم
ماذ : ماذا أراد الله بهذا مثلا
متى : متى نصر الله
أين : أين ما كنتم تدعون من دون الله
Semua lafadz-lafadz dalam contoh di atas dipergunakan untuk pengertian yang bersifat umum karena mencakup setiap kesatuan yang ada di dalamnya, jika ada lafadz ‘am tetapi tidak mengandung sebuah keumuman maka lafadz itu adalah bentuk aligori (majazi) yang keberadaannya membutuhkan qorinah. Khusus mengenai permasalahan ini insya Allah akan dibahas secara panjang lebar dalam makalah selanjutnya tentang Majaz dengan penjelasan jelas yang menjelaskan sejelas-jelasnya sampai jelas dan tidak membutuhkan kejelasan yang lebih jelas.
I. 3. Al-‘am yang ditakhsis (dikhususkan)
Takhsis adalah mengeluarkan sebagian satuan-satuan yang masuk di dalam lafadz Aam. Mukhassis adalah dalil yang menjadi dasar pegangan untuk adanya pengeluaran tersebut. dengan melihat keterangan di atas dapatlah diambil kesimpulan bahwa dalil Aam tetap berlaku bagi satuan-satuan yang masih ada sesudah dikeluarkan satuan tertentu yang ditunjukkan oleh mukhassis. Kaidah untuk itu adalah العام بعد التخصيص حجّة فى الباقى “Lafadz Aam setelah ditakhsiskan masih menjadi hujjah (pegangan) bagi satuan-satuan yang terkandung di dalamnya”.
Dalam hal mukhassis nash syar’iy maka antara yang ditakhsiskan dan pentakhsisnya haruslah sederajad seperti Al Qur’an dengan Al Qur’an atau Al Qur’an dengan As sunnah Mutawattirah. Demikian pula As sunnah shahihah dengan As sunnah Shahihah. Namun demikian jumhur ulama membolehkan mentakhsis Al Qur’an dengan As sunnah walaupun ahad, tetapi ulama hanafiah berpendapat hanya As sunnah Mutawattirah atau yang masyhur saja yang boleh mentakhsis Al Qur’an.
Sebagian ulama seperti Hanafiyyah mensyaratkan adanya mukhassis harus muqarinan lil’am (bersamaan dengan Aam). jika tidak, maka namanya nasikh bukan mukhassis, juga harus mustaqil (tersendiri) dari ‘am. Pengkhususan seperti ististna yang datang setelah lafadz ‘am menurut mereka bukan mukhassis, tetapi dalil adanya pembatasan keumuman.
Pendapat ulama Jumhur berbeda dan tidak mensyaratkan dua hal di atas. Jadi, mukhassis bisa berupa dalil mustaqil atau ghoir mustaqil, bersamaan dengan nash ‘am (muqarinan linnasshil ‘am) atau tidak, tetapi semuanya dengan catatan tidak datang setelah pengamalan keumuman, bila datangnya setelah pengamalan namanya nasikh.
Berikut ini pembagian dalil mukhassis menurut ulama Jumhur; Dalil-dalil yang mengkhususkan ada dua macam; Pertama muttashil, yaitu dalil yang keberadaannya bersamaan dengan ‘am, masih ada kaitan makna juga bagian dari ‘am. Kedua dalil munfashil, kebalikan dari yang pertama.
Mukhassis munfashil atau mustaqil (sempurna dengan dirinya sendiri), ada empat macam:
1) Kalimat yang dapat berdiri sendiri dan bersambung dengan kalimat, seperti firman Allah:
(من شهد منكم الشهر فليصمه (البقرة: ١٨٥
Setiap orang yang berada di bulan Ramadhan wajib berpuasa, tetapi di kecualikan orang sakit dan musafir, dengan dalil ayat sesudahnya;
ومن كان مريضا أوعلى سفر فعدّة من أيّام أخر
2) Kalimat yang dapat berdiri sendiri dan terpisah dengan kalimat itu.
Contohnya firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 3 yang menjelaskan keharaman semua bangkai , حرّمت عليكم الميتة. Tetapi dikhususkan bangkai binatang laut, dalil takhsisnya adalah sabda Nabi هوالطهورماؤه الحلّ ميتته
3) Al-‘aqlu (nalar).
Akal bisa di jadikan dalil takhsis pada semua nash yang mengandung tuntutan syar’iyyah. Contohnya perintah mengerjakan shalat dalam ayat أقيمواالصلاة , keumumannya di takhsis oleh akal dengan mengecualikan anak kecil dan orang-orang gendeng. Contoh lainnya الله خالق كلّ شيئ ,كتب عليكم الصيام dan lain-lain.
4) Adat dan uruf.
Point keempat ini adalah menurut madzhab Malikiyyah. contohnya sabda Rasulullah Saw.:
“لاقطع إلاّ فى ربعِ د ينار “ Artinya: “Tidak dikenakan hukum potong tangan kecuali (hasil curian itu sampai) seperempat dinar.
Bagaimana dan berapa harga tukar (kurs) dinar itu bagi Negara-negara yang tidak memakai dinar sebagai alat pembayaran yang sah diserahkan kepada uruf atau adat setempat.
Mukhassis muttashil, dalil yang merupakan bagian dari nash disebut ghair mustaqil (tidak bisa berdiri sendiri). Juga ada empat macam;
1) Ististna, seperti dalam ayat
من كفر بالله من بعد إيمانه إلا من أكره وقلبه مطمئنّ بالإيمان.النحل : ۱•٦
Artinya: “Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah ia beriman (dia pasti mendapat kemurkaan Allah) kecuali orang yang dipaksa kafir sedangkan hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)
2) Kata sifat, seperti Firman Allah:
ومن لم يستطع منكم طولا أن ينكح المحصنات المؤمنات قمن ما ملكت أيمانكم من فتياتكم المؤمنات. النساء:٢٥
Artinya: Dan barang siapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki. (An nisa’:25)
Lafadz fatayaat adalah Aam yang dapat mencakup yang beriman atau tidak. Dengan diberikan kata sifat al mukminat (yang beriman) maka hamba sahaya yang tidak beriman tidak termasuk lagi.
3) Syarat, sebagaimana Firman Allah:
وبعولتهنّ أحقّ بردّهنّ فى ذ لك إن أرادوا إصلا حا. البقرة: ۲۲۸
Artinya: Dan suami mereka berhak merujuki mereka jika mereka (suami istri) itu menghendaki islah (Al Baqarah :228)
4) Ghoyah, ialah penghabisan sesuatu yang mengharuskan tetapnya hukum bagi perkara-perkara yang disebut sebelumnya sedangkan yang disebut sesudahnya tidak ada hukum tersebut. Lafadz ghoyah adakalanya memakai hatta atau ilaa.
Contohnya Firman Allah Swt.
وما كنّا معذّ بين حتّى نبعث رسولا. الإسراء: ۱٥
Artinya: Dan kami tidak akan mengazab (menyiksa) sehingga kami mengutus seorang Rasul. (Al Isra’ :15)[4]
I. 4. Dalalah al-‘am
Terdapat perbedaan pendapat mengenai karakteristik dalalah al-‘am yang tidak mengkhususkan semua satuannya, apakah pasti atau dugaan. Menurut sebagian ulama ushul –di antaranya Syafi’iyyah- dalalah al-’am tersebut menunjukkan keumuman dan bersifat dugaan, apabila dikhususkan maka sisa satuan al-‘am juga dalalahnya dugaan. Ulama ushul lain, termasuk di dalamnya Hanafiyyah berpendapat bahwa al-‘am yang tidak dikhususkan bersifat pasti sedangkan sisa satuan setelah pengkhususan adalah dzanni (bersifat dugaan).
I. 5. Pembagian al-‘am
Melalui pengkajian terhadap nash-nash, al-‘am dibagi menjadi tiga macam;
1) ‘Am yang secara pasti bermaksud keumuman, sebagaimana firman Allah:
وََمَا مِن دَابَّةٍ فِى الأرضِ إِلاَّ عَلَى اللهِ رِزقُهَا. (هود :٦ )
Artinya: “Dan tidak ada satu binatang melata pun di bumi melainkan Allah pasti memberi rizkinya”.
2) ‘Am yang secara pasti dimaksudkan sebagai kekhususan. Seperti Firman Allah SWT:
وَلله على الناس حِجُّ البَيتِ. ( ال عمران : ۹۸)
Artinya: “Menunaikan haji ke Baitullah adalah kewajiban manusia terhadap Allah”.
3) ‘Am yang dikhususkan, yaitu al-‘am al-muthlaq yang tidak disertai qorinah yang meniadakan kemungkinan pengkhususannya atau ditiadakan dalalahnya, seperti nash yang di dalamnya terdapat lafadz-lafadz ‘am dan tidak ada qorinah lafadz, akal atau kebiasaan yang bias menentukan kekhususan ataupun keumumannya sehingga keumumannya menjadi khusus sampai ada dalil yang mengkhususkannya, contoh; والمطلقات يتربّصن بأتفسهنّ ثلا ثة قروء[5] “perempuan-perempuan yang dithalaq itu menunggu”. Menurut imam al-Syaukani, al-‘am yang dimaksudkan sebagai kekhususan adalah al-‘am yang ketika diucapkan disertai qorinah yang dapat menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan al-‘am itu ialah khusus bukan umum.5
II. AL-KHASH
II. 1. Definisi al-khash
Lafadz khas adalah lafadz yang menunjukkan perseorangan tertentu seperti “Mushtofa”, satuan jenis seperti “laki-laki”, atau beberapa satuan yang terbatas seperti “seratus, seribu”, dan lafadz-lafadz lain yang menunjukkan beberapa bilangan beberapa satuan, tetapi tidak mencakup satuan-satuan tersebut. [6]
II. 2. Hukum Khash
Bila ada suatu lafadz khash dalam nash syar’iy maka makna yang khash yang ditunjuk oleh lafadz itu adalah qath’iy (قطعى ) bukan dhonny ( ظنّى) contohnya:
والمطلقات يتربَّصنَ بِأنفسهنّ ثلاثة قروء . البقرة : ۲۲۸
Artinya: “Dan wanita-wanita yang dithalaq suaminya itu hendaklah menunggu iddah mereka selama tiga kali quru’ (haid atau suci). (Al Baqarah : 228).
Lafadz tsalatsah di situ adalah khash dan maknanya qath’iy.
Seringkali lafadz khash itu terdapat secara mutlak tanpa ada batasan/ikatan apapun dan sering pula terdapat dalam bentuk tuntutan perbuatan. Contoh: إتقو الله (bertakwalah kepada Allah). Seringkali terdapat dalam bentuk larangan perbuatan, seperti ولا تجسّسوا (dan janganlah kamu memata-matai). Jadi dalam lafadz khash itu terdapat lafadz mutlak, ikatan/batasan, perintah dan larangan.
Hukum khash secara global ialah apabila terdapat nash syara’ sedang maknanya yang khusus menunjukkan dalalah secara pasti, maka pada hakikatnya lafadz khash itu dibuat untuk itu dan pengertiannya diambil hukum dengan pasti, tidak dengan dugaan.
Tidak ada pertentangan antara ulama ushul mengenai ketetapan hukum qoth’iy dari lafadz khash.
III. SIMPULAN
Ketetapan hukum Sar’iy yang sudah digariskan oleh Al Qur’an dan As Sunnah harus dipahami dengan sungguh-sungguh, untuk melangkah ke sana diperlukan kemampuan mempuni bagi calon-calon Mujtahid agar tidak terjadi produk hukum yang ngawur dan tidak bisa di pertanggung jawabkan. Mempelajari ilmu ushul fiqh, mendalami dan sekaligus menguasainya adalah salah satu batu loncatan untuk menjadi pencetus hukum yang handal dan diperhitungkan.
Sampai di sini semoga tulisan yang sangat sederhana dan penuh kekurangan ini bisa dimanfa’atkan dan bila terdapat kekeliruan mohon dibetulkan.
[1] Prof. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, “Pustaka Ridwan 1999, hal 166
[2] Menurut Dr. Abdul Karim Zaidan dalam bukunya “al-Wajiz” hal. 305
ﺍﻠﻌﺎﻢ ﻓﻰﺍ ﻠﻠﻐة ﻫﻭﺍﻠﺸﺎ ﻤﻞﺍﻠﻤﺘﻌﺪّ ﺪ
ﻭﻓﻰﺍﻹﺼﻃﻶﺡ ﻠﻓﻈ ﻳﺴﺘﻐﺮﻕ ﺟﻤﻴﻊ ﻤﺎ ﻳﺻﻠﺢ ﻠﻪ ٫ﺒﻮﻀﻊ ﻮﺍ ﺤﺪ ﺪ ﻔﻌﺔ ﻮﺍﺤﺪﺓ ﻤﻥ ﻏﻴﺮ ﺣﺻﺮ
Menut Imam Syafi’i dalam kitab al-MustashfaJuz 2 hal 32:
العام عبارة عن اللفظ الواحد الدال من جهة واحدة على شيئين فصاعدامثل الرجال والمشركين
[3] Dr. Abdul Wahab Khalaf, Ushul Fiqh, Darul Qolam cetakan ke 12. hal. 181-182.
[4] Dr. Abdul Karim Zaidan “Al-Wajiz fi ushulul fiqhi”hlm. 310 – 317. Muassasatur Risalah cetakan ke lima
[5] Prof.Dr. Abdul Wahab Khalaf. “Ushulul fiqhi”hlm. 327-329
[6] Aly Hasbullah. “Ushulut tasyri’ al-islami, hlm. 182