skip to main | skip to sidebar

Pages

  • Beranda

Curhat Bersama Kang Wan Setiawan

Rubah dan pangeran Kecil

18.43 | Publish by Kang Wan Setiawan

“Selamat siang“, sapa si Rubah.
“Selamat siang“, jawab Pangeran Kecil sopan, mendongak tapi tidak melihat apa-apa.
“Aku disini”, kata suara itu, “di bawah pohon apel“
“Siapa kau?“ tanya Pangeran Kecil, “Kau cantik sekali“.
“Aku Rubah “ jawab si Rubah.
“Kemari, bermainlah denganku.” kata Pangeran Kecil. “Aku sangat sedih.”
“Aku tidak bisa bermain denganmu,” kata Rubah. ”Aku belum dijinakkan.”
“Ah! Maafkan aku,” kata Pangeran Kecil. Tetapi setelah berpikir beberapa saat, dia menambahkan “Apa artinya itu – menjinakkan?”
“Menjinakan artinya menjalin ikatan.”
“Itu adalah tindakan yang sering diabaikan,” kata Rubah. “Menjinakan artinya menjalin ikatan.”
“Menjalin ikatan?”
“Begitulah” kata Rubah. “Bagiku, kamu saat ini tidak lebih dari seorang bocah kecil yang sama saja dengan ribuan bocah kecil lainnya. Dan aku tidak membutuhkanmu. Dan kamu sendiri tidak membutuhkan aku. Bagimu, aku tidak lebih dari seekor rubah seperti ratusan ribu rubah lainnya. Tapi jika kamu menjinakkan aku, kita akan saling membutuhkan. Bagiku, kamu akan menjadi satu-satunya di dunia. Bagimu, aku akan menjadi satu-satunya di dunia…”
jika kamu menjinakkan aku, kita akan saling membutuhkan. Bagiku, kamu akan menjadi satu-satunya di dunia. Bagimu, aku akan menjadi satu-satunya di dunia…
“Hidupku sangat membosankan,” kata Rubah. “Aku berburu ayam, manusia memburuku. Semua ayam sama saja, dan semua manusia sama juga. Dan, akibatnya, aku jadi agak bosan. Tapi jika kamu menjinakkan aku, akan terasa seolah matahari menyinari hidupku. Aku akan mengenali suara langkah yang terdengar berbeda dari semua langkah lain. Langkah-langkah lain akan mendorongku bergegas kembali ke bawah tanah. Tapi langkahmu akan memanggilku, seperti musik, keluar dari persembunyianku. Dan coba lihat: kamu lihat ladang gandum jauh disana? Aku tidak makan roti. Gandum tidak ada manfaatnya bagiku. Ladang gandum tidak punya arti apa-apa bagiku. Dan itu menyedihkan. Tapi rambutmu berwarna emas. Pikirkan betapa indah jadinya nanti jika kamu telah menjinakkan aku! Butir-butir gandum, yang juga berwarna keemasan. Akan membuatku ingat kepadamu. Dan aku akan senang sekali mendengarkan suara angin yang meniup butir-butir gandum….”
Lama, Rubah itu manatap sang Pangeran Kecil.

“Tolong-jinakkan aku!” katanya.
“Aku ingin, ingin sekali,” sahut Pangeran Kecil. “Tapi aku tidak punya banyak waktu. Ada banyak teman yang harus kucari, dan banyak hal yang harus kumengerti.”
“Orang hanya bisa mengerti hal-hal yang dijinakkannya,” kata Rubah. “Manusia tidak punya waktu lagi untuk mengerti apa pun. Mereka membeli barang yang telah disediakan toko. Tapi di mana-mana tidak ada toko yang menjual persahabatan, dan karenanya manusia tidak punya teman lagi. Jika kamu ingin punya teman, jinakkan aku…”
“Apa yang harus kulakukan, untuk menjinakkan kamu?” tanya Pangeran Kecil.
“Kamu harus sabar sekali,” sahut Rubah. “Pertama-tama kamu duduk agak jauh dariku – seperti itu diatas rumput. Aku akan memandangmu dari sudut mataku, dan kamu tidak boleh bilang apa-apa. Kata-kata adalah sumber kesalahpahaman. Tapi kamu akan duduk lebih dekat denganku setiap hari…”
Kata-kata adalah sumber kesalahpahaman.
Maka Pangeran Kecil menjinakkan Rubah. Dan ketika waktu perpisahan mereka hampir tiba
“Ah,” kata Rubah, “Aku akan menangis”
“Itu salahmu sendiri,” kata Pangeran Kecil. “Aku tidak pernah berkeinginan mencelakaimu sama sekali, tapi kamu ingin aku menjinakkan kamu….”
“Ya, memang begitu,” kata Rubah
“Jadi itu tidak mendatangkan kebaikkan bagimu sama sekali!”
“Itu baik untukku,” kata Rubah, “Karena warna ladang gandum itu.” lalu dia menambahkan “Pergi dan lihatlah lagi bunga-bunga mawar itu. Kamu akan mengerti sekarang bahwa bungamu adalah satu-satunya di seluruh dunia. Lalu kembalilah dan ucapkan selamat tinggal padaku, aku akan memberimu hadiah berupa sebuah rahasia.”
Pangeran Kecil pergi, untuk melihat kembali bunga-bunga mawarnya.
“Kamu sama sekali tidak seperti bunga mawar milikku,” katanya pada bunga-bunga. “Jadi kamu tidak ada artinya. Tidak ada yang menjinakkan kamu, dan kamu tidak menjinakkan siapa-siapa. Kamu seperti rubahku ketika pertama kali aku mengenalnya. Dia hanya seekor rubah seperti seratus ribu rubah lainnya. Tapi aku telah menjadikannya temanku, dan kini dia menjadi satu-satunya di seluruh dunia.”
Dan mawar-mawar itu sangat malu.
“Kamu cantik, tapi hampa,” lanjutnya.”Tidak ada yang bersedia mati demi kamu. Tentu, orang yang lewat akan mengira bahwa bunga mawarku tampak persis seperti kamu, mawar yang kumiliki. Tapi hanya dialah yang lebih penting daripada ratusan ribu mawar lainnya. Sebab dialah yang kulindungi dari balik tabir, karena demi dialah aku membunuh ulat (kecuali dua atau tiga di antara mereka yang kami selamatkan agar menjadi kupu-kupu), karena dialah aku mau mendengarkan, ketika dia mengomel, atau membual, atau bahkan kadang-kadang ketika dia tidak bilang apa-apa. Karena dia adalah mawarku.”
Dan dia kembali untuk menemui Rubah.
Hanya dengan hatilah orang bisa melihat dengan benar, hal apa yang terpenting itu tidak dapat dilihat dengan mata.
“Selamat tinggal” katanya
“Selamat jalan” kata Rubah. “Dan sekarang inilah rahasiaku, rahasia yang sangat sederhana. Hanya dengan hatilah orang bisa melihat dengan benar, hal apa yang terpenting itu tidak dapat dilihat dengan mata.”
“Apakah yang terpenting yang tidak dapat dilihat dengan mata?” ulang pengeran kecil supaya dia yakin akan bisa mengingatnya.
“Waktu yang telah kamu habiskan untuk mawarmu itulah yang membuat mawarmu begitu penting.”
“Waktu yang telah aku habiskan untuk mawarku?” kata pangeran kecil, supaya dia yakin akan bisa mengingatnya.
Kamu bertanggung jawab, selamanya, terhadap apa yang telah kamu jinakkan
“Manusia telah melupakan kebenaran ini,” kata rubah. “Tapi kamu tidak boleh melupakannya. Kamu bertanggung jawab, selamanya, terhadap apa yang telah kamu jinakkan. Kamu bertanggung jawab terhadap mawarmu….,”

0 komentar

Adez The Journey Part II

18.40 | Publish by Kang Wan Setiawan


Adez  The Journey Part  II
Hampir semua orang punya cerita dalam hidupnya.cerita tentang asmaranya,tentang persahabatannya,tentang keluarganya dan tentang yang lainnya,dan aku juga. Aku selalu punya cerita menarik diantara dari sekian banyak cerita sedihku. Satu setengah tahun yang lalu aku menulis  cerita tentang seseorang karena waktu itu komunuikasi kami sempat pakum selama hampir satu tahun,aku menulis catatan itu benar-benar untuk dia”Teringat Widya”dan  sekarang  komunikasi kami terjalin kembali sejak 4 empat bulan yang lalu dan  sekarang  aku tertarik untuk menulisnya kembali. Malam ini aku sangat merindukan dia sama seperti malam-malam sebelumnya bahkan masih sama seperti  malam-malam  satu setengah tahun yang lalu. Pagi harinya aku mengirim pesan untuknya untuk menyemangati dia berangkat  ke kantor aku selalu mengingatkan untuk sarapan dan berdo’a pada Tuhan  dan siang harinya aku  kembali mengirim pesan untuk mengingatkannya makan siang,hampir dari semua pesan-pesanku dia balas dan bilang terimakasih telah menyemangati dan aku senang sekali mendengarnya,malam harinya aku kembali mengirim pesan atau aku menelphonnya atau aku mgirim pesan melalui facebook keadaan  ini sama seperti satu setengah tahun yang lalu kami selalu saling mengirim pesan dan dipastikan hampir tidak ada yang berubah dalam hal komunikasi,benar-benar sangat manarik.

Terimakasih untuk sahabatku atau temanku atau teman tapi mesra atau pacarku atau apa sajalah. Terimakasih untuk komunikasi yang kini  terjalin kembali,jujur aku katakan aku senang sekali dengan komunikasi ini,aku bahagia saat-saat sekarang ini meski aku tahu dia tidak sebahagia aku. Aku selalu meridukan dia pagi,siang,sore dan malam meski aku tahu dia tidak merindukan aku sebanyak aku merindukannya. Teimakasih untuk do’a dan perhatiannya,terimakasih untuk support yang sangat besar saat aku jatuh sakit beberapa waktu yang lalu,terimakasih untuk menyuruhku pergi ke dokter dan selalu mengingatkan untuk minum obat yang sebetulnya aku malas untuk memiunumnya,terimakasih untuk semuanya yang tidak bisa aku sebutkan satu per satu,terimakasih dari hati yang terdalam.

Aku akan selalu mengirim pesan untuknya untuk mengingatkannya dalam hal apapun,meski sepertinya  sekarang  tidak akan setiap pagi,setiap sore dan setiap malam,aku akan menelphonnya untuk mendengarkan kebahagiaan atau keluhan dalam pekerjaannya meski tidak sesering waktu kemarin.Aku pikir sekarang ada seseorang yang jauh lebih dia tunggu dalam setiap pesan-pesannya atau dalam obrolannya untuk menyemangati pagi-paginya,untuk menemani siang harinya dan untuk menemani malam-malam istirahatnya.
Untuk sahabatku atau temanku atau teman tapi mesra atau pacarku atau apa sajalah.maaf kalau satu setengah tahun  tidak membawa perubahan apa-apa dalam hidupku,aku masih saja suka marah-marah tidak jelas,egois dan tidak mau kalah. Maaf atas kekurangan diri,maaf atas kebodohan diri,maaf kalau selama ini aku ngeselin,(nyebelin kata kamu)maaf atas perkataan2 yang selalu saja tidak aku lanjutkan terkadang aku sendiri tidak tahu kenpa bisa begitu,mungkin itu kebiasanku atau mungkin saja karena ada sesuatu yang aku harus menstopnya..


Best Regard,


sejenak ku sadar harapku mulai sirna
mengguncang sisi jiwaku
hasratpun meronta merebak dalam dada
adilkah dunia bawaku melangkah

tatap cermin diri cari jawab akan tanya
gelap hampa tiada warna
sudah hapus saja bila raga lelah ’tuk mencari
adilkah dunia buatku melangkah
oh, bilakah semua ’kan menjadi nyata dalam hidup ini
oh ,bilakah cintaku selalu terasa abadi selamanya

pudar hilang sudah anganku kan dirimu
tinggalkan luka batinku
laraku mendera mendekam dalam rasa ini
adilkah dunia bawaku melangkah

bayang dirimu mendekap manja
menjelma mesra bak mentari menyapa dunia

0 komentar

Madrasah dan Sekolah Islam Unggulan oleh Stit At-Taqwa pada 29 Januari 2011 jam 8:59

18.36 | Publish by Kang Wan Setiawan

Madrasah dan Sekolah Islam Unggulan

Lahirnya lembaga pendidikan Islam unggulan dewasa ini merupakan buah dari gagasan modernisasi Islam di Indonesia. Pembaruan pemikiran Islam dan pelaksanaan pendidikan Islam di tanah air tidak selalu sejalan lurus dengan cita-cita dan semangat ajaran Islam. Islam selain dipahami sebagai ajaran ritual dan sumber nilai, juga sebagai sumber ilmu pengetahuan dan peradaban umat manusia. Seperti yang pernah diungkapkan oleh HAR. Gibb, bahwa “Islam is indeed much more than a system of teology, if is complete civilization” (Islam sesungguhnya bukan hanya satu sistem teologi semata, tetapi ia merupakan peradaban yang lengkap).[1] Pernyataan tersebut, berarti Islam merupakan agama yang aktual, relevan dengan segala urusan manusia, termasuk di bidang pendidikan.
Dalam konteks Indonesia, lembaga pendidikan Islam unggulan (madrasah dan sekolah Islam) telah menemukan momentumnya pada akhir abad ke 20. Meskipun pada awal abad tersebut telah muncul beberapa model lembaga pendidikan Islam dengan format dan tampilan yang berbeda, untuk tidak mengatakan modern, dari karakteristik lembaga pendidikan Islam yang ada sebelumnya, misalnya lembaga pendidikan dibawah naungan organisasi Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama’.
Secara umum lembaga pendidikan Islam unggulan diformat dengan model dan gaya modern yang mengadopsi sisi-sisi meritokrasi dengan tanpa meninggalkan nilai-nilai pendidikan tradisional atau konvensional sebelumnya. Bahkan, lembaga pendidikan Islam unggulan mencoba menawarkan bentuk sintesa baru yang mengkolaborasi antara tujuan pendidikan umum dengan tujuan pendidikan (agama) Islam yang sepadan. Bentuk sintesa ini kemudian diiringi dengan dukungan kualitas akademik, sumber daya manusia (SDM), sarana prasarana, sumber pendanaan yang kuat serta penciptaan lingkungan yang baik.
Kalau melihat gejala dan nuansa kebangkitan lembaga pendidikan Islam unggulan (madrasah dan sekolah Islam) nampaknya pada wilayah praksis baru muncul tahun 1980-an atau 1990-an. Baik madrasah maupun sekolah Islam unggulan mengadopsi dari sistem pendidikan umum, yang hal itu merupakan warisan dari sistem pendidikan kolonial Belanda, melalui modernisasi dari para pelaku dan praktisi pendidik orang muslim dengan menambahkan porsi materi agama Islam lebih banyak.
Eksistensi madrasah dan sekolah Islam unggulan tersebut diharapkan mampu menjawab tantangan dan tuntutan modernisasi, kemajuan globalisasi dan informasi. Hadirnya lembaga pendidikan Islam unggulan dalam konstelasi nasional sempat memancing perhatian dan perbincangan dari berbagai pakar dan ahli pendidikan untuk menangkap makna terhadap gejala dan fenomena yang terpendam dibalik itu. Hal ini wajar, karena sistem pendidikan nasional masih dianggap belum mampu menunjukkan mutu pendidikan yang signifikan.
Mencuatnya resesi moral (akhlak), perkelahian, tindak anarkhis, serta berbagai tindakan menyimpang dikalangan pelajar merupakan reasoning (pemikiran) tersendiri bagi para pelaku pendidikan untuk menghadirkan madrasah dan sekolah Islam unggulan. Wajah baru lembaga pendidikan Islam Unggulan tersebut, selain ingin menampilkan lulusan yang unggul di bidang akademiknya, juga unggul di bidang akhlak dan spiritualnya. Untuk meraih kedua misi tersebut diperlukan ”wadah baru” berupa madrasah atau sekolah Islam yang benar-benar memberikan corak dan ciri khas yang kuat dan handal dari segala lingkup dan komponennya.
Defenisi Madrasah dan Sekolah Islam Unggulan
Sebelum mendefinisikan madrasah atau sekolah Islam unggulan, terlebih dahulu penulis ingin mengemukakan tentang beberapa sebutan istilah atau term yang barangkali memiliki makna hampir serupa. Kata lain dari ”unggulan” seringkali disebuat dengan istilah ”model” atau ”percontohan”. Selain itu juga ada yang memakai istilah ”terpadu”, ”laboratorium” atau ”elite”.
Beberapa lembaga pendidikan Islam ada yang lebih senang memakai istilah ”model” ketimbang ”unggulan”. Sehingga wajar saja kalau ada istilah ”sekolah/madrasah model”, ”sekolah/madrasah percontohan”, atau ”sekolah/madrasah terpadu”. Madrasah atau sekolah Islam model (unggulan) merupakan representasi dari kebangkitan umat Islam untuk kalangan menengah.[2]
Dari segi pelabelan namanya, nampak sudah jelas dapat ditebak bahwa sekolah atau madrasah model (unggulan) semacam itu tampil dengan penuh visi dan inspirasi yang mengundang penasaran banyak orang. Dari segi nama, tampaknya lebih gagah dan menjanjikan kualitas masa depan para murid.
Istilah sekolah unggul pertama kali diperkenalkan oleh mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Wardiman Djojonegoro, tepatnya setahun setelah pengangkatannya, tahun 1994. Istilah sekolah unggul lahir dari satu visi yang jauh menjangkau ke depan, wawasan keunggulan. Menurut Wardiman, selain mengharapkan terjadinya distribusi ilmu pengetahuan, dengan membuat sekolah unggul ditiap-tiap propinsi, peningkatan SDM menjadi sasaran berikutnya. Lebih lanjut, Wardiman menambahkan bahwa kehadiran sekolah unggul bukan untuk diskriminasi, tetapi untuk menyiapkan SDM yang berkualitas dan memiliki wawasan keunggulan.[3]
Di lingkungan kementerian agama, definisi madrasah unggulan adalah madrasah program unggulan yang lahir dari sebuah keinginan untuk memiliki madrasah yang mampu berprestasi di tingkat nasional dan dunia dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi ditunjang oleh akhlakul karimah. Sementara sekolah Islam unggulan adalah sekolah yang dikembangkan untuk mencapai keunggulan dalam keluaran (out put) pendidikannya. Untuk mencapai keunggulan tersebut, maka masukan (input), proses pendidikan, guru dan tenaga kependidikan, manajemen, layanan pendidikan, serta sarana penunjangnya harus diarahkan untuk menunjang tercapainya tujuan tersebut.
Menurut Moedjirto, setidaknya dalam praktik dilapangan terdapat tiga tipe madrasah atau sekolah Islam unggulan. Pertama, tipe madrasah atau sekolah Islam berbasis pada anak cerdas. Tipe seperti ini sekolah atau madrasah hanya menerima dan menyeleksi secara ketat calon siswa yang masuk dengan kriteria memiliki prestasi akademik yang tinggi. Meskipun proses belajar-mengajar di lingkungan madrasah atau sekolah Islam tersebut tidak terlalu istimewa bahkan biasa-biasa saja, namun karena input siswa yang unggul, maka mempengaruhi outputnya tetap berkualitas.
Kedua, tipe madrasah atau sekolah Islam berbasis pada fasilitas. Sekolah Islam atau madrasah semacam ini cenderung menawarkan fasilitas yang serba lengkap dan memadahi untuk menunjang kegiatan pembelajarannya. Tipe ini cenderung memasang tarif lebih tinggi ketimbang rata-rata sekolah atau madrasah pada umumnya. Untuk tingkat dasar, madrasah atau sekolah Islam unggulan di Kota Malang, misalnya, rata-rata uang pangkalnya saja bisa sekitar lebih dari 5 hingga 10 juta. Biaya yang tinggi tersebut digunakan untuk pemenuhan sarana dan prasarana serta sejumlah fasilitas penunjang lainnya.
Ketiga, tipe madrasah atau sekolah Islam berbasi pada iklim belajar. Tipe ini cenderung menekankan pada iklim belajar yang positif di lingkungan sekolah/madrasah. Lembaga pendidikan dapat menerima dan mampu memproses siswa yang masuk (input) dengan prestasi rendah menjadi lulusan (output) yang bermutu tinggi. Tipe ketiga ini termasuk agak langka, karena harus bekerja ekstra keras untuk menghasilkan kualitas yang bagus.[4]
Dari uraian di atas dapat didefinisikan bahwa sekolah Islam atau madrasah unggulan adalah lembaga pendidikan Islam yang memiliki komponen unggul, yang tercermin pada sumber daya manusia (pendidik, tenaga kependidikan, dan siswa) sarana prasarana, serta fasilitas pendukung lainnya untuk menghasilkan lulusan yang mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi secara terampil, memiliki kekokohan spiritual (iman dan/atau Islam), dan memiliki kepribadian akhlak mulia.
[1] Ungkapan tersebut dikutip oleh M. Natsir dari HAR. Gibb pada salah satu karyanya berjudul “Whiter Islam”. Lihat dalam M. Natsir, Kapita Selekta (Jakarta: Bulan Bintang, 1954) Hal. 15.
[2] Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta, Logos, 1999) hal. 69-75.
[3] SINERGI, Jurnal Populer Sumber Daya Manusia, Volume 1, No. 1 Januari-Maret 1998. Hal. 15.
[4] Moedjiarto, Sekolah Unggul, (Surabaya: Duta Graha Pustaka, 2002). Hal 34.

0 komentar

Sejarah Pendidikan Agama Islam Masa Abbasiyah (MK: Sejarah Pendidikan Islam) oleh Stit At-Taqwa pada 22 Februari 2011 jam 5:06

18.34 | Publish by Kang Wan Setiawan

Sejarah Pendidikan Agama Islam Masa Abbasiyah (MK: Sejarah Pendidikan Islam)

oleh Stit At-Taqwa pada 22 Februari 2011 jam 5:06
Sejarah Pendidikan Agama Islam Masa Abbasiyah
A. PENDAHULUAN
Sejarah pendidikan Islam erat kaitannya dengan sejarah Islam, karena proses pendidikan Islam sejatinya telah berlangsung sepanjang sejarah Islam, dan berkembang sejalan dengan perkembangan sosial budaya umat Islam itu sendiri. Melalui sejarah Islam pula, umat Islam bisa meneladani model-model pendidikan Islam di masa lalu, sejak periode Nabi Muhammad SAW, sahabat dan ulama-ulama sesudahnya. Para ahli sejarah menyebut bahwa sebelum muncul sekolah dan universitas, sebagai lembaga pendidikan formal, dalam dunia Islam sesungguhnya sudah berkembang lembaga-lembaga pendidikan Islam non formal, diantaranya adalah masjid.
Masjid pada masa Nabi bukan hanya sebagai tempat ibadah, tapi juga sebagai tempat menyiarkan ilmu pengetahuan pada anak-anak dan orang-orang dewasa, disamping sebagai tempat peradilan, tempat berkumpulnya tentara dan tempat menerima duta-duta asing. Bahkan di masa Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah, masjid yang didirikan oleh penguasa umumnya dilengkapi dengan berbagai macam fasilitas pendidikan seperti tempat belajar, ruang perpustakaan dan buku-buku dari berbagai macam disiplin keilmuan yang berkembang pada saat itu. Sebelum al-Azhar didirikan di Kairo, sesungguhnya sudah banyak masjid yang dipakai sebagai tempat belajar, tentunya dengan kebijakan-kebijakan penguasa pada saat itu.
Islam mengalami kemajuan dalam bidang pendidikan, terutama pada masa Dinasti Abbasiyah. Pada saat itu, mayoritas umat muslim sudah bisa membaca dan menulis dan dapat memahami isi dan kandungan al-Quran dengan baik. Pada masa ini murid-murid di tingkat dasar mempelajari pokok-pokok umum yang ringkas, jelas dan mudah dipahami tentang beberapa masalah. Pendidikan di tingkat dasar ini diselenggarakan di masjid, dimana al-Quran merupakan buku teks wajib. Pada tingkat pendidikan menengah diberikan penjelasan-penjelasan yang lebih mendalam dan rinci terhadap materi yang sudah diajarkan pada tingkat pendidikan dasar. Selanjutnya pada tingkat universitas sudah diberikan spesialisasi, pendalaman dan analisa.
B. PEMBAHASAN
1. Tujuan pendidikan pada masa Abbasiyah
Pada masa Nabi masa khoilfah rasyidin dan umayah, tujuan pendidikan satu saja, yaitu keagamaan semata. Mengajar dan belajar karena Allah dan mengharap keridhoan-Nya. Namun pada masa abbasiyah tujuan pendidikan itu telah bermacam-macam karena pengaruh masyarakat pada masa itu. Tujuan itu dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Tujuan keagamaan dan akhlak
Sebagaiman pada masa sebelumnya, anak-anak dididik dan diajar membaca atau menghafal Al-Qur’an, ini merupakan suatu kewajiban dalam agama, supaya mereka mengikut ajaran agama dan berakhlak menurut agama.
b. Tujuan kemasyarakatan
Para pemuda pada masa itu belajar dan menuntut ilmu supaya mereka dapat mengubah dan memperbaiki masyarakat, dari masyarakat yang penuh dengan kejahilan menjadi masyarakat yang bersinar ilmu pengetahuan, dari masyarakat yang mundur menuju masyarakat yang maju dan makmur. Untuk mencapai tujuan tersebut maka ilmu-ilmu yang diajarkan di Madrasah bukan saja ilmu agama dan Bahasa Arab, bahkan juga diajarkan ilmu duniawi yang berfaedah untuk kemajuan masyarakat.
c. Cinta akan ilmu pengetahuan
Masyarakat pada saat itu belajar tidak mengaharapkan apa-apa selain dari pada memperdalam ilmu pengetahuan. Mereka merantau ke seluruh negeri islam untuk menuntut ilmu tanpa memperdulikan susah payah dalam perjalanan yang umumnya dilakukan dengan berjalan kaki atau mengendarai keledai. Tujuan mereka tidak lain untuk memuaskan jiwanya untuk menuntut ilmu.
d. Tujuan kebendaan
Pada masa itu mereka menuntut ilmu supaya mendapatkan penghidupan yang layak  dan pangkat yang tinggi, bahkan kalau memungkinkan mendapat kemegahan dan kekuasaan di dunia ini, sebagaimana tujuan sebagian orang pada masa sekarang ini.[1]
2. Tingkat-tingkat Pengajaran
Pada masa Abbasiyah sekolah-sekolah terdiri dari beberapa tingkat, yaitu:
  1. Tingkat sekolah rendah, namanya Kuttab sebagai tempat belajar bagi anak-anak. Di samping Kuttab ada pula anak-anak belajar di rumah, di istana, di took-toko dan di pinggir-pinggir pasar. Adapun pelajaran yang diajarkan meliputi: membaca Al-Qur’an dan menghafalnya, pokok-pokok ajaran islam, menulis, kisah orang-orang besar islam, membaca dan menghafal syair-syair atau prosa, berhitung, dam juga pokok-pokok nahwu shorof ala kadarnya.[2]
  2. Tingkat sekolah menengah, yaitu di masjid dan majelis sastra dan ilmu pengetahuan sebagai sambungan pelajaran di kuttab. Adapun pelajaran yang diajarkan melipuri: Al-Qur’an, bahasa Arab, Fiqih, Tafsir, Hadits, Nahwu, Shorof, Balaghoh, ilmu pasti, Mantiq, Falak, Sejarah, ilmu alam, kedokteran, dan juga music.
  3. Tingkat perguruan tinggi, seperti Baitul Hikmah di Bagdad dan Darul Ilmu di Mesir (Kairo), di masjid dan lain-lain. Pada tingkatan ini umumnya perguruan tinggi terdiri dari dua jurusan:
1)      Jurusan ilmu-ilmu agama dan Bahasa Arab serta kesastraannya. Ibnu Khaldun menamainya ilmu itu dengan Ilmu Naqliyah. Ilmu yang diajarkan pada jurusan ini meliputi: Tafsir Al-Qur’an, Hadits, Fiqih, Nahwu, Sharaf, Balaghoh, dan juga Bahasa Arab.
2)      Jurusan ilmu-ilmu hikmah (filsafat), Ibnu Khaldun menamainya dengan Ilmu Aqliyah. Ilmu yang diajarkan pada jurusan ini meliputi: Mantiq, ilmu alam dan kimia, Musik, ilmu-ilmu pasti, ilmu ukur, Falak, Ilahiyah (ketuhanan), ilmu hewan, dan juga kedokteran.[3]
3. Perkembangan ilmu pengetahuan di masa Abbasiyah
Pada masa abbsiyah ini terdapat perkembangan ilmu pengetahuan, antara lain sebagai berikut:
  1. Menerjemahkan buku-buku dari bahasa asing (Yunani,Syiria Ibrani, Persia, India, Mesir, dan lain-lain) ke dalam bahasa Arab. Buku-buku yang diterjemahkan meliputi ilmu kedokteran, mantiq (logika), filsafat, aljabar, pesawat, ilmu ukur, ilmu alam, ilmu kimia, ilmu hewan, dan ilmu falak.
  2. Pengetahuan keagamaan seperti fikih, usul fikih, hadis, mustalah hadis, tafsir, dan ilmu bahasa semakin berkembang karena di zaman Bani Umayyah usaha ini telah dirintis. Pada masa ini muncul ulama-ulama terkenal seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Hambali, Imam Bukhari, Imam Muslim, Hasan Al Basri, Abu Bakar Ar Razy, dan lain-lain.[4]
  3. Sejak upaya penerjemahan meluas, kaum muslim dapat mempelajari ilmu-ilmu ilmu-ilmu itu langsung dalam bahasa arab sehingga muncul sarjana-sarjana muslim yang turut memperluas peyelidikan ilmiah, memperbaiki atas kekeliruaan pemahaman kesalahan pada masa lampau, dan menciptakan pendapat-pendapat atau ide baru. Tokoh-tokohnya antara lain sebagai berikut :
Ilmuwan untuk mengungkap rahasia alam, yang dimulai dengan mencari manuskrip-manuskrip klasik peninggalan ilmuwan Yunani Kuno, seperti karya Aristoteles, Plato, Socrates, dan sebagainya. Manuskrip-manuskrip tersebut kemudian dibawa ke Baghdad, lalu diterjemahkan dan dipelajari di perpustakaan yang merangkap sebagai lembaga penelitian, Baitul Hikmah, sehingga melahirkan pemikiran-pemikiran baru.
Dalam bidang filsafat antara lain tercatat Al-Kindi, Al- Farabi, Ibnu Sina (Avicenna) dan Ibnu Rusydi (Averroes). Di bidang sains ada Al-Farghani, Al-Biruni, Al-Khawarizmi, Umar Khayyam dan Al-Thusi. Di bidang kedokteran tercatat nama Al-Thabari, Ar-Razi (Rhazes), Ibnu Sina dan Ibnu Rusydi (Averroes). Di bidang ilmu kimia terkenal nama Ibnu Hayyan. Di bidang optika ada Ibnu Haytsam. Di bidang geografi ada Al-Khawarizmi, Al-Ya’qubi, dan Al-Mus’udi. Dalam bidang ilmu kedokteran hewan ada Al-Jahiz, Ibnu Maskawaihi, dan Ikhwanussafa, Ibnu Sina dan seterusnya yang tidak muat lembaran ini jika diurut satu persatu.
Dalam bidang ilmu fiqih terkenal nama Abu Hanifah, Malik bin Anas, Al-Syafi’ie, dan Ahmad bin Hanbal. Dalam ilmu kalam ada Washil bin Atha, Ibnu Huzail, Al-Asy’ari, dan Maturidi. Dalam ilmu Tafsir ada Al-Thabari dan Zamakhsyari. Dalam ilmu hadits, yang paling populer adalah Bukhari dan Muslim. Dalam ilmu tasawuf terdapat Rabi’ah Al- Adawiyah, Ibnu ‘Arabi, Al-Hallaj, Hasan al-Bashri, dan Abu Yazid Al-Bustami.[5]
  1. Sejak Akhir abd ke-10, muncul sejumlah tokoh wanita dibidang ketatanegaraan dan politik seperti Khaizura, Ulayyah, Zubaidah, dan Bahrun. Di bidang kesusastraan dikenal Zubaidah dan Fasl. Di bidang Sejarah, muncul Shalikhah Shuhda. Di bidang kehakiman, muncul Zainab Umm Al Muwayid. D I bidang seni musik, Ullayyah dikenal dan sangat tersohor pada waktu itu.
  2. Pada masa bani Abbasiyah, juga terjadi kemajuaan di bidang perdagangan dan melalui ketiga kota ini dilakukan usaha ekspor impor. Hasil idustri yang diekspor ialah permadani, sutra, hiasan, kain katun, satin, wool, sofa, perabot dapu atau rumah tangga, dan lain-lain.
  3. Bidang pendidikan mendapat perhatian yang sangat besar. Sekitar 30.000 masjid di Bagdad berfungsi sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran pada tingkat dasar. Perkembangaan pendidikan pada masa bani abbasiyah dibagi 2 tahap. Tahap pertama (awal abad ke-7 M sampai dengan ke-10 M ) perkembangan secara alamiah disebut juga sebagai system pendidikan khas Arabia. Tahap kedua (abad ke 11) kegiatan pendidikan dan pengajaran diatur oleh pemerintah dan pada masa ini sudah dipengaruhi unsur non-Arab.[6]
4. Kurikulum Pendidikan Pada Masa Abbasiyah
Kurikulum yang dikembangkan dalam pendidikan Islam saat itu, yaitu : pertama, kurikulum pendidikan tingkat dasar yang terdiri dari pelajaran membaca, menulis, tata bahasa, hadist, prinsip-prinsip dasar Matematika dan pelajaran syair. Ada juga yang menambahnya dengan mata pelajaran nahwu dan cerita-cerita. Ada juga kurikulum yang dikembangkan sebatas menghapal Al-Quran dan mengkaji dasar-dasar pokok agama.
Berikut sebuah riwayat yang bisa memberikan gambaran tentang kurikulum pendidikan pada tingkat dasar pada saat itu. Al Mufadhal bin Yazid menceritakan bahwa pada suatu hari ia berjumpa seorang anak-anak laki dari seorang baduwi. Karena merasa tertarik dengan anak itu, kemudian ia bertanya pada ibunya. Ibunya berkata kepada Yazid: “…apabila ia sudah berusia lima tahun saya akan menyerahkannya kepada seorang muaddib (guru), yang akan mengajarkannya menghapal dan membaca Al-Quran lalu dia akan mengajarkannya syair. Dan apabila dia sudah dewasa, saya akan menyuruh orang mengajarinya naik kuda dan memanggul senjata kemudian dia akan mondar-mandir di lorong-lorong kampungnya untuk mendengarkan suara orang-orang yang minta pertolongan…”.
Kedua, kurikulum pendidikan tinggi. Pada pendidikan tinggi, kurikulum sejalan dengan fase dimana dunia Islam mempersiapkan diri untuk memperdalam masalah agama, menyiarkan dan mempertahankannya. Akan tetapi bukan berarti pada saat itu, yang diajarkan melulu agama, karena ilmu yang erat kaitannya dengan agama seperti bahasa, sejarah, tafsir dan hadis juga diajarkan.[7]
C. PENUTUP
Demikianlah sedikit uraian tentang Sejarah Pendidikan Islam  pada masa Abbasiyah. Tentunya tulisan ini masih sangat jauh untuk mengungkap secara detail dan sempurna tentang Sejarah Pendidikan Islam pada masa Abbasiyah. Untuk itu penulis yakin makalah ini masih membutuhkan banyak koreksi dan masukan. Sebagai penutup penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca.
Daftar Pustaka
Basri, Hasan, M.Nur. Peran Islam dalam Kemajuan Eropa. Serambi Indonesia. edisi 19 Maret 2001.
Sunanto, Musyrifah. 2004. Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam. Jakarta: Prenada Media.
Yatim, Badri. 2000. Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Yunus, Mamud. 1990. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Hidakarya Agung.
Zuhairini, Moh. Kasiran. dkk. 1985. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: DEPAG.
[1] Mamud Yunus. 1990. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Hidakarya Agung. Hlm. 46
[2] Badri Yatim. 2000. Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hlm. 54
[3] Musyrifah Sunanto. 2004. Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam. Jakarta: Prenada Media. Hlm. 57.
[4] Zuhairini, Moh. Kasiran. dkk. 1985. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: DEPAG. Hlm. 88
[5] Hasan Basri, M.Nur, Peran Islam dalam Kemajuan Eropa, Serambi Indonesia, edisi 19 Maret 2001.
[6] Zuhairini, Moh. Kasiran. dkk. 1985. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: DEPAG. Hlm. 99
[7] Ibid, hlm. 100.

0 komentar
18.31 | Publish by Kang Wan Setiawan

SEJARAH TAFSIR KLASIK DAN MODERN
KKN 2011 Kec. Ibun
Alquran merupakan salah satu dari sejumlah kecil kitab suci yang telah memberikan pengaruh begitu luas dan mendalam dalam jiwa dan tindakan manusia. Bagi kaum muslimin Alquran bukan saja sebagai kitab suci (scripture) melainkan juga petunjuk (hudâ) yang menjadi pedoman sikap dan tindakan mereka dalam memainkan peran sebagai khalifatullah di muka bumi. Ibarat katalog sebuah produk barang, Alquran adalah guide bagi pengelola alam ini sehinga dapat berfungsi dengan baik. Maka baik buruknya pengelolaan dan pendayagunaan alam sangat tergantung kepada tinggi rendahnya intensitas komitmen manusia terhadap petunjuk Alquran. Karena itu, tafsir dan yang berkaitan dengannya telah mendapat perhatian besar sejak masa awal perkembangan Islam sampai masa kini hingga masa mendatang mengingat posisi sentral yang dimilikinya sebagai hudan.
KKN 2011 Kec. Ibun
Sejarah Tafsir Klasik
Kendati pada mulanya berkembang secara lisan, tetapi kodifikasi ilmu tafsir telah dimulai sejak dini. Dalam kitab Thabaqât Ibnu Sa`d (5/216) di sinyalir, sejarawan Musa bin Uqbah dititipi oleh Kurayb bin Muslim (w 97 H) ‘sepikulan’ onta karangan gurunya, Tarjumân al-Qur`ân, Ibnu Abbas (w. 68 H). Disebutkan, Ali bin Abdullah bin Abbas (w 118 H) berkali-kali berkirim surat kepada Musa bin `Uqbah untuk mendapatkan kumpulan karya ayahnya guna ditulis ulang. Fuat Sezgin, pakar bibliografi turats Islam, mengomentari, “tidak ada yang menghalangi untuk mengatakan Ibnu Abbas telah menulis sendiri karya tafsirnya yang sekarang banyak berserakan dalam bentuk kutipan di buku-buku tafsir”.
Buah pikiran Ibnu Abbas dalam tafsir banyak yang sampai kepada kita melalui riwayat yang shahih, terutama yang melalu jalur Ali bin Abi Thalhah. Dalam tafsir Thabary terekam sekitar 1000 riwayat yang melalui jalur ini. Sebagian pakar menilai riwayat tersebut mengandung kelemahan karena Ali bin Abi Thalhah tidak meriwayatkannya langsung dari Ibnu Abbas. Tetapi dengan diketahui ‘perantara’ antara Ali bin Abi Thalhah dan Ibnu Abbas seorang yang tsiqah yaitu Mujahid (w 104 H) dan Ikrimah (w. 105 H) maka tuduhan tersebut menjadi tidak relevan (Musykil al-Atsar, Thahawi 3/186). Ahmad Ibnu Hanbal sering memuji karya tersebut yang pada masanya masih dapat dilihat dan tersimpan di Mesir (Tarikh Turats `Arabiy, Sezgin 1/180).
Tafsiran Ibnu Abbas tidak selalu melalui periwayatan dari Rasulullah dan para sahabat (tafsir bil ma`tsur), tetapi telah ada terobosan baru yaitu tafsir melalui pendekatan bahasa. Nafi` Ibnu al-Azraq (w. 65 H), pemimpin Khawarij saat itu, pernah mengajukan 200 kata yang maknanya tidak jelas dalam Alquran kepada Ibnu Abbas. Dengan piawainya Ibnu Abbas menjelaskan maknanya satu per satu dengan disertai argumentasi pendukung dari syair Arab jahily.
Tafsir dengan pendekatan bahasa dan logika secara umum semakin berkembang di tangan para murid Ibnu Abbas seperti Said bin Jubair (w 95 H), Mujahid, Ikrimah, Al-Dhahhak (w 105 H) dan Atha` bin Rabah (w. 114 H).
Karya-karya mereka, selain memuat hal-hal metafisik dan hikayat masa lalu, lebih terfokus pada kajian kosa kata Alquran. Upaya-upaya tersebut menjadi pijakan bagi lahirnya banyak literatur tentang kosa kata Alquran (gharîb al-Qur`ân) pada abad ke 2 hijriah seperti terlihat pada karya Abban bin Tighlib (w 141 H) dan Zaid bin Ali. Upaya penafsiran secara sintaksis (pendekatan nahwu) juga telah dilakukan oleh Abu al-Aswad al-Du`aly (w 69 H), Nashr bin Ashim (w 89 H), Yahya bin Ya`mar (w. 129 H), Isa bin Umar al-Tsaqafiy (w. 149 H) dan Abu Amr bin al-`Ila (w. 145 H). Sayangnya, seperti halnya listeratur Islam klasik lainnya, banyak di antara  karya tafsir yang muncul sejak masa awal sampai pada paruh pertama abad ke 2 hijriah hilang dan tidak sampai kepada kita kecuali dalam bentuk kutipan di buku-buku ulama yang muncul belakangan. Beberapa karya penting masa awal yang sampai kepada kita Al-Asybâh wa al-Nazhâ`ir fi Al-Qur`ân al-Karîm karya Muqatil bin Sulaiman al-Balkhiy (w 150 H), Majâz al-Qur`ân karya Abu Ubaydah (w 210 H) dan Ma`âny al-Qur`ân karya al-Farra (w 207 H).
Upaya menghimpun kembali karya-karya ulama masa lalu (abad ke 1 dan ke 2 H) telah dilakukan pada paruh pertama abad ke 3 H. Imam Bukhari, penyusun kitab hadis shahih, dalam karyanya banyak memuat penjelasan makna kosa kata Alquran yang kemudian dikumpulkan dalam bentuk buku tersendiri oleh M. Fuad Abdul Baqy. Selain memuat beberapa riwayat tafsir, meski terkadang tidak disertai sanad, karya Imam Bukhari itu banyak memuat pandangan ulama bahasa sebelumnya terutama Abu Ubaidah.
Usaha pengumpulan ini mencapai puncaknya dalam karya Imam Thabary (w. 310 H), Jâmi` al-Bayân fi Ta`wîl al-Qur`ân. Selain memuat tafsir secara utuh karya tersebut juga dilengkapi dengan sanad periwayatannya. Karena itu tidak berlebihan jika dikatakan karya Thabari tersebut sebagai puncak karya tafsir bil ma`tsur meskipun juga banyak memuat pandangan ahli bahasa.
Tafsir Thabary dikatakan sebagai karya utuh tafsir karena pada umumnya karya yang muncul sampai pada akhir abad ke 4 H lebih menekankan pada satu kajian tertentu semisal Gharîb al-Qur`ân dan Musykil al-Qur`ân karya Ibnu Qutaybah (w 276 H), Fadhâ`il al-Qur`ân karya Abi Ubayd al-Qasim bin Salam (w 224 H), Ma ittafaqa lafzhuhu wa ikhtalafa ma`nâhu min al-Qur`ân al-Majîd karya al-Mubarrad (w 285 H), Al-Nasikh wa al-Mansûkh karya Abu Ja`far al-Nahhas (w 338 H), dan juga tidak menafsirkan seluruh ayat seperti terlihat pada karya al-Zajjaj (w 311 H), Ma`ani al-Qur`an wa I`râbuhu dan Abu al-Laits al-Samarqandiy (w 373 H), Tafsir al-Qur`ân.
Tradisi periwayatan dalam tafsir model Thabariy kemudian diikuti selanjutnya pada abad ke 5 H oleh al-Tsa`labiy (w 427 H) dalam karyanya al-Kasyf wa al-Bayân dan al-Wahidiy (w 468 H) yang memiliki tiga karya tafsir; al-Wajîz, al-Wasîth dan al-Basîth.
Catatan negatif yang sering diberikan kepada model tafsir periwayatan adalah bercampurnya antara riwayat yang shahih dengan yang dha`îf (lemah) bahkan mawdhu` (palsu). Tak ubahnya mereka seperti pencari kayu bakar di malam hari (hâthib laylin) yang tidak bisa membedakan antara ular dan batang kayu bakar. Karena itu pada awal abad ke 6 H, seorang pakar hadis, al-Baghawiy (w 510 H) mencoba membersihkan karya al-Tsa`labiy yang dinilainya cukup banyak memuat informasi tafsir masa lalu dari dalam karyanya Ma`âlim al-Tanzîl. Selain memuat pikiran tafsirnya, al-Baghawi mendasari banyak tafsirannya dari karya Tsa`labiy, al-Kasyf wa al-Bayân. Karya Al-Baghawiy tersebut kemudian diringkas pada awal abad ke 8 H oleh Imam al-Khazin (w 725 H) dalam karyanya Lubâb al-Ta`wîl. Kepribadian al-Khazin sebagai seorang sufi yang menyenangi kisah-kisah aneh dalam nasihat-nasihatnya membuatnya tertarik untuk menukil kembali kisah-kisah yang ditulis Tsa`labiy dan telah dibuang oleh al-Baghawiy dari karyanya.
Di sisi lain penafsiran dengan pendekatan bahasa yang lebih rasional berkembang di kalangan mu`tazilah melalui tokoh-tokohnya seperti Abu Ishaq al-Nazhzham (w 231 H), al-Jahizh (w 255 H), dan mencapai puncaknya dalam karya Zamakhsyari (w 538 H), Al-Kasysyâf.
Jika tafsir Zamakhsyari muncul dari belahan timur dunia Islam saat itu, di belahan barat, tepatnya Andalusia, muncul karya tafsir yang tidak kalah kuatnya yaitu Al-Muharrar al-Wajîz karya Ibnu Athiyyah (w 546 H). Selain menghimpun banyak riwayat tafsir dan mengkritisinya, karya Ibnu Athiyyah pun cukup kuat dalam pendekatan bahasa dan logika.
Pada abad ke 6 H karya Zamakhsyari mendapat tempat terhormat di kalangan umat Islam. Pesona keindahan balaghah Aquran yang mewarnai tafsir Zamakhsyari membuat banyak orang terkesima dan tertarik untuk mengkajinya sehingga lahir beberapa karya yang berkhidmat kepadanya. Bentuk kajian tersebut antara lain membersihkan pengaruh aliran mu`tazilah yang ada di dalamnya seperti dilakukan oleh Ibnu al-Munayyir (w 683 H) dalam ‘al-Intishâf fi mâ tadhamanahu al-Kasysyâf min al-I`tizâl, atau menjelasakan kata atau ungkapan sulit yang ada di dalamnya seperti terlihat dalam karya Quthbuddin al-Tahtaniy (w. 766 H) dan al-Thibiy (w. 786 H), Futûh al-Ghayb fi al-Kasyf `a Qinâ` al-Rayb yang kemudian diringkas lagi oleh Al-Taftâzani (w 792 H) dalam hâsyiyah-nya.
 Sementara pakar menduga, kelahiran karya al-Raziy (w 604 H), Mafâtîh al-Ghayb atau al-Tafsîr al-Kabîr, yang mewakili ulama ahlussunnah, juga dilatarbelakangi oleh pesona al-Kasysyaf. Khawatir umat terpengaruh oleh muatan i`tizâl di balik pesona keindahan balaghah, al-Razi menyusun karyanya tersebut dengan mengembangkan uraian balaghah Zamakhsyari dan memberi warna sunniy dalam beberapa masalah yang menyangkut akidah dan ilmu kalam.
Tak ayal kedua karya tersebut kemudian menjadi karya yang sangat kuat sehingga mendasari banyak karya setelahnya. Sebut saja misalnya Anwâr al-Tanzîl karya al-Baydhawiy (w 685 H). Seperti kebanyakan karya yang muncul sejak awal abad ke 7 H Baidhawi menulis karyanya secara ringkas, tetapi memuat keindahan pesona balaghah Alquran seperti dalam al-Kasysyâf dan mewakili aliran sunniy asy`ari yang mencapai puncak kematangannya saat itu di tangan al-Ghazali, Imam al-Haramain, dan al-Raziy. Penjelasan makna kata, kalimat dan ungkapan Alquran didapatinya dari al-Kasysyâf, sementara uraian hikmah Alquran, filsafat, pokok-pokok akidah dan syariah dirangkum dari Mafâtîh al-Ghayb. Al-Baidhawi berhasil melakukan itu dengan sangat memuaskan.
Dominasi Sunni di dunia Islam saat itu membuat karya al-Baidhawi menjadi sangat populer. Boleh dikata, karya al-Baidhawi lah yang membuat karya Zamakhsyari terus mendapat tempat di hati muslim sunni. Sebagai karya yang cukup kuat, Anwâr al-Tanzîl melahirkan banyak karya dalam bentuk syarh dan hâsyiyah. Sampai pada masa Mulla Katib al-Jalabiy (terkenal dengan sebutan Haji Khalifah/ w. 1017 H), penyusun bibliografi literatur Islam (Kasyf al-Zhunûn) tercatat 50 karya hasyiyat atas karya al-Baydhawi tersebut. Sebut saja misalnya Hâsyiyat Syeikh Zâdah (w 951 H), Hâsyiyat Ibnu Tamjid (w 880 H), Nawâhid al-Abkâr karya al-Suyuthi dan lainnya. Jika ditambah dengan karya hasyiyah yang muncul setelah Kasyf al-Zhunûn, seperti Hâsyiyat Al-Siyalakuti (w. 1067 H), Hâsyiyat al-Syihab (w 1069 H) yang berjudul `Inâyat al-Qâdhi wa Kifâyat al-Râdhi dan Hâsyiyat al-Qunawiy (w 1169 H) maka paling tidak terdapat 53 hasyiyah yang ditulis untuk menjelaskan karya al-Baidhawi tersebut.
Kemiripan antara karya Zamakhsyari dan Baidhawi dapat dilihat dengan membandingan hasyiyat keduanya. Imam Suyuthi yang menulis hasyiyat atas karya al-Baidhawi dalam karyanya banyak menukil penjelasan Al-Thibiy dan Al-Taftazaniy yang menulis hasyiyat atas karya Zamakhsyari.
Tradisi meringkas dan mensyarah karya-karya terdahulu masih terus berlanjut di belahan timur dunia Islam sampai akhir abad ke 9 H dan seterusnya. Dengan dominasi Dinasti Ottoman tradisi tersebut melebar sampai ke Persia dan Turki. Seorang ulama saat itu yang menguasai tiga bahasa; Arab, Persi dan Turki, Abu Al-Su`ud (w. 982 H) melanjutkan tradisi tersebut dengan menulis Irsyâd al-`Aql al-Salîm ilâ Mazâyâ al-Kitâb al-`Azhîm. Karya tafsir tersebut mengikuti metode yang dikembangkan dalam karya Zamakhsyari dan Baidhawi.
Tradisi keilmuan yang berbeda berkembang di belahan barat dunia Islam seperti Andalusia, Tunisia, Fas, Granada dan lainnya. Jika di timur yang berkembang adalah syarah dan komentar (ta`liq/hasyiyat) maka di barat tradisi anilitik tanpa melupakan uraian kata dan ungkapan berkembang dengan baik. Di antara karya tafsir yang muncul di sana adalah karya Ibnu Arfah (w 803 H) dan al-Jâmi` li Ahkâm al-Qur`ân karya al-Qurthubiy (w 671 H).
Pada masa Ottoman, sampai awal abad ke 13 H literatur tafsir yang mendominasi dunia Islam dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian; pertama: tafsir ilmiah sunni yang diwakili oleh tafsir al-Baidhawi dan Abu Su`ud; kedua : tafsir ilmiah syiah seperti karya Al-Thusi, al-Qummiy dan al-Thabarsiy (Majma` al-Bayân), ketiga : tafsir sufi yang tidak terikat dengan istilah teknis ilmiah dan bahasa yang diwakili oleh Rûh al-Bayân karya Ismail Haqqi al-Barsawiy. Ketiga tradisi keilmuan; sunnah, syiah dan sufi tersebut mempengaruhi kehidupan Al-Alusiy (w. 1270 H) yang melahirkan karya Rûh al-Ma`âniy. Suatu karya yang cukup kuat dengan menghimpun ketiga tradisi keilmuan yang berkembang pada masa Ottoman. Al-Alusi berhasil menunjukkan kemampuan intelektualnya dalam menggali pesan-pesan Alquran dengan perangkat keilmuan yang memadai, selain juga menampilkan kepribadian sufi dalam dirinya dalam bentuk capaian makna-makna isyarat di balik lafal Alquran.
Sampai pada al-Alusi penafsiran Alquran lebih merupakan suatu masalah akademis. Memahami sebuah tafsir memerlukan pengetahuan yang detil terhadap kata-kata teknis dan istilah-istilah bahasa Arab, hukum dan dogma, sunah Nabi dan para Sahabat serta bigrafi Nabi. Tafsir-tafsir Alquran merupakan ensiklopedi-ensiklopedi dari ilmu-ilmu tersebut atau lebih merupakan kutipan dari ensiklopedi tersebut.
Tafsir di Era Modern
Abad ke 14 H merupakan titik awal dalam sejarah kebangkitan umat Islam secara umum. Bentuk penafsiran yang terkesan akademis dianggap tidak lagi mampu menjawab tantangan umat saat itu. Adalah Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh yang pertama kali menyerukan perlunya pemahamaan baru dalam kehidupan beragama. Abduh umpamanya mengkritik karya-karya tafsir terdahulu dengan mengatakan, “Hâdzâ lâ yanbaghi an yusammâ tafsîran, wainnamâ dharbun minattamrin fil fun‎ûn kannahwi wal ma’âni waghayrihim (Tafsir al-Manar,1/24). Menurut Abduh, “Pada hari akhir nanti Allah tidak menanyakan kita mengenai pendapat-pendapat para mufasir dan tentang bagaimana mereka memahami Alquran. Tetapi Ia akan menanyakan kepada kita kitab-Nya yang Ia wahyukan untuk membimbing dan mengatur kita”. Abduh berpendapat, yang dibutuhkan oleh umat adalah pemahaman kitab suci sebagai sebuah hidayah yang membawa kebahagiaan dunia dan akhirat (Tafsir al-Manar,1/24). Dengan begitu, sudah pasti Alquran harus dapat memberikan solusi bagi permasalahan-permasalahan umat.
Terobosan Abduh dalam tafsir Alquran seperti tercermin dalam karya yang dikumpulkan dan dilengkapi oleh muridnya Rasyid Ridha boleh dibilang sebagai sesuatu yang baru dan orisinil. Kebaruannya dapat dilihat pada penekanannya yang baru dalam melihat Alquran, yakni sebagai sumber hidayah, petunjuk keagamaan dan spritual. Hemat penulis, pandangan Abduh yang menekankan perlunya rekonstruksi pemahaman Alquran, sedikit banyaknya, dipengaruhi oleh keberhasilan gerakan renaissance yang menitikberatkan pada pemahaman ulang terhadap kitab suci. Di sinilah terdapat titik temu gerakan pembaruan di Barat dan Timur.
Seruan Abduh tersebut mendapat sambutan hangat dari para reformis islam. Secara umum terdapat beberapa kecenderungan (trend) dan metodologi dalam tafsir modern. Kecenderungan dimaksud, yang dalam bahasa Arab disebut Ittijâh, adalah kumpulan pandangan dan pemikiran yang mewarnai sebuah karya tafsir, sekaligus mencerminkan latar belakang intelektual penafsirnya. Dengan kata lain, kesan umum tentang pemikiran penulis. Tafsir Thabari sering diklasifikasikan  dalam kategori bi-l-Ma’tsur, padahal tidak sedikit kita temukan penggunaan nalar dalam karya tersebut. Al-Kasysyâf, karya Zamakhsyari, sering disebut bercorak tafsir aliran atau dogmatis seperti kata I. Godziher. Padahal Zamkhsyari, seperti dikatakan Jansen, dengan karyanya itu dapat disebut sebagai tokoh yang menyempurnakan analisis sintaksis terhadap Alquran setelah Abu Ubaydah, peletak dasar tafsir filologi modern. Ini menjelaskan bahwa klasifikasi yang sering didengar itu hanya sekadar kesan umum yang ditangkap dari kecenderungan penulisnya. Sedangkan metodologi yang dimaksud di atas adalah cara yang digunakan mufasir untuk mewujudkan kecenderungan tadi. Dengan kata lain wadah yang berisikan kecenderungan pemikiran mufasir. Dua istilah ini sering dipahami rancu dalam beberapa kajian tafsir.
A. Beberapa Tren Penafsiran Modern
I.Goldziher dalam karyanya Richtungen der Islamischen Koranauslegung, mengasumsikan ada lima kecenderungan dalam penafsiran Alquran; (1) penafsiran dengan bantuan hadits Nabi dan para Sahabatnya; (2) penafsiran dogmatis; (3) penafsiran mistik; (4) Penafsiran sektarian; (5) penafsiran modernis. Goldziher dalam karyanya itu belum sempat membahas tren yang berkembang pascaAbduh. J. Jomier dalam beberapa karyanya juga belum dapat membuat potret utuh tentang penafsiran modern. Demikian pula J.M.S. Baljon dalam karyanya, Modern Muslim Koran Interpretation. Sebuah studi yang paling sukses dalam mengungkap kecenderungan tafsir modern dapat dilihat pada karya Iffat. M. Syarkawi, Ittijâhât al-Tafsîr fil ‘Ashril Hadîts. Menurutnya tafsir modern yang disebutnya sebagai tafsir praktis, memiliki tiga kecenderungan utama; (1) sosial kemasyarakatan (ittijâh ijtimâ’iy); (2) tafsir saintifik (ittijâh ‘ilmi); (3) interpretasi filologik dan sastra (ittijâh adabiy). Kategorisasi yang sama juga dilakukan oleh J.J.G. Jansen dalam karyanya, The Interpretation of The Koran in Modern Egypt, dan DR. M. Ibrahim Syarif dalam karyanya, Ittijâhât al-Tajdîd fi tafsir al-Qur’ân al-Karim fî Mishr.
A.1. Tren Sosial Kemasyarakatan
Problem utama yang dihadapi umat islam di awal abad ini, setelah mengalami kemunduran dan terpecah belah, adalah mengatur siasat untuk melawan dominasi Barat dalam berbagai sektor kehidupan; militer, ekonomi dan budaya. Sudah barang tentu diperlukan cara pandang baru dalam melihat kehidupan. Diharapkan umat islam dapat memilih dan memilah produk nilai dan norma kehidupan modern. Kritik intrinsik (naqd dzâtiy) ini mengharuskan para reformis islam untuk mengkaji ulang Alquran dan sunnah. Hal yang sama juga dilakukan para reformis islam dalam sepanjang sejarah setiap kali umat menghadapi tantangan, baik dari dalam maupun luar.
Apa yang dilakukan mufasir modern sebenarnya hanyalah kepanjangan dari karya-karya mufasir klasik. Bedanya, mufasir klasik, seperti dikatakan Iffat, dalam banyak hal sering menggunakan pendekatan filosofis dalam menghadapi tantangan zamannya. Sementara mufasir modern lebih menekankan pada gagasan-gagasan praktis yang langsung menyentuh persoalan umat. Yang patut dikagumi, para mufasir modern berhasil mengkompromikan temuan-temuan mufasir klasik dan mengemasnya dengan baik sehingga tepat dan jitu dalam menyelesaikan masalah. Tema-tema politik, persatuan, ekonomi, dan masalah-masalah sosial lainnya kerap kali ditemukan dalam karya-karya seperti Abduh, Rasyid Ridha, al-Maraghy, Syaltout dan lainnya.
Upaya tersebut paling tidak telah mampu menyaring dan mengerem laju peradaban Barat. Bila tidak, dapat dibayangkan peradaban islam akan kehilangan identitasnya. Di sisi lain, usaha tersebut berhasil mengobati kebimbangan umat dalam dua hal; produk baru peradaban Barat yang sangat asing bagi umat, dan keinginan hati untuk mengembalikan kejayaan turats peradaban islam. Satu hal yang patut disayangkan, penganut aliran in seringkali terkesan reaksioner dan lamban dalam mengantisipasi persoalan. Sehingga yang terkesan, hanya mengekor dan sekadar menjustifikasi gelombang pembaruan yang tengah terjadi.
A.2. Penafsiran Saintifik (ittijah ‘ilmy)
Kecenderungan menafsirkan Alquran dengan teori-teori ilmu pengetahuan sebenarnya telah lama dikenal. Benihnya bermula pada masa Dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa pemerintahan Khalifah al-Ma’mun (w. 853 M) akibat penerjemahan kitab-kitab ilmiah. Kecenderungan ini muncul sebagai upaya kompromi dalam polemik hubungan antara Alquran dan ilmu pengetahuan. Karya al-Ghazali, Jawâhir al-Qur’ân, seringkali dikutip dalam membela keabsahan tafsir ilmiah. Dalam buku kecilnya itu, al-Ghazali mengajarkan bahwa Alquran hanya akan menjadi jelas bagi mereka yang mempelajari ilmu penegetahuan yang digali darinya. Seseorang tidak bisa memahami Alquran tanpa pengetahuan tata bahasa Arab dan orang tidak bisa memahami apa yang dimaksud oleh ayat seperti “dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku”, jika ia tidak mengerti kedokteran.
Pro-kontra tentang tafsir ilmiah selalu terjadi di kalangan tokoh-tokoh klasik dan modern. Selain al-Ghazali, al-Razi, al-Mursi dan Al-Suyuthi juga dikelompokkan sebagai pendukung tafsir ini. Berseberangan dengan mereka, al-Syathibi menentang keras penafsiran model seperti ini. Dalam barisan tokoh-tokoh modern, para pendukung tafsir ini seperti, M. Abduh, Thanthawi Jauhari, Hanafi Ahmad berseberangan dengan tokoh-tokoh seperti M. Syaltout, Amin al-Khuli dan Abbas Aqqad.
Polemik-polemik tersebut menghasilkan formula kompromistik yang mengatakan bahwa Alquran memang berisi kebenaran ilmu pengetahuan. Namun demikian Alquran tidak bisa diperlakukan sebagai sebuah buku teks ilmu pengetahuan. Alquran lebih merupakan buku petunjuk (hidayah) daripada teori-teori ilmu. “Memahami ayat-ayat Alquran sesuai penemuan-penemuan baru adalah ijtihad yang baik, selama paham tersebut tidak dipercayai sebagai aqidah Qur’aniyah dan tidak beretentangan dengan prinsip-prinsip dan ketentuan bahasa”, demikian Quraish mencoba menengahi.
Munculnya tafsir ilmiah modern, menurut Jansen, berhubungan dengan awal pengaruh Barat terhadap dunia Arab dan kawasan Muslim. Terlebih-lebih dalam paruh kedua abad kesembilan belas dunia islam berada di bawah pemerintahan Eropa. Kekuasaan Eropa atas kawasan Arab dan Muslim ini hanya dimungkinkan oleh superioritas teknologi Eropa. Bagi seorang muslim, membaca tafsir Alquran bahwa persenjataan dan teknik-teknik asing yang memungkinkan orang-orang Eropa menguasai umat islam sebenarnya telah disebut dan diramalkan di dalam Alquran, bisa menjadi pelipur lara. Inilah yang diungkapkan M. Quraish Shihab sebagai kompensasi perasaan Inferiority Complex (perasaan rendah diri). Lebih lanjut Quraish menulis, “Tidak dapat diingkari bahwa mengingat kejayaan lama merupakan obat bius yang dapat meredakan sakit, meredakan untuk sementara, tetapi bukan menyembuhkannya.”
Pandangan optimistik terhadap tren ini dilontarkan oleh Iffat. Menurutnya, tren ini berusaha membangun rumah baru bagi peradaban islam setelah umat islam mengalami dualisme budaya yang tercermin pada sikap dan pemikiran. Dualisme ini melahirkan sikap kontradiktif antara mengenang kejayaan masa lalu dan keinginan memperbaiki diri, dengan kekaguman terhadap peradaban Barat yang hanya dapat diambil sisi materinya saja. Sehingga yang terjadi, budaya di kawasan Muslim ‘berhati islam, tetapi berbaju Barat’. Upaya mufasir ilmiah pada hakekatnya ingin membangun kesatuan budaya melalui pola hubungan harmonis antara Alquran dan ilmu pengetahuan modern yang menjadi simbol peradaban Barat.
A.3. Interpretasi filologik dan sastra (Ittijâh Adaby)
Di awal abad modern, kecenderungan ini sebenarnya telah dimulai oleh penganut tren sosial kemasyarakatan seperti, M. Abduh, Rasyid Ridha dan al-Maraghy. Tetapi usaha mereka baru sebatas mengungkap sekilas retorika Alquran, belum dalam bentuk sebuah metode ilmiah. Sebab menurut mereka tujuan tafsir adalah mewjudkan hidayah Alquran.
Tren ini mencapai puncak kematangannya di tangan Amin al-Khuli. Menurutnya, Alquran harus diperlakukan sebagai kitab berbahasa Arab yang terbesar (Kitâb al-Arabiyyah al-Akbar). Maka hak-hak kebahasaannya harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum maksud-maksud lain. Amin mengatakan bahwa secara ideal studi tafsir harus dibagi dalam dua bagian : (1) kajian sekitar Alquran, dirâsah hawl al-nash, dan (2) kajian terhadap Alquran itu sendiri, dirâsah fi al-Qur’ân nafsihi. Kajian sekitar Alquran diarahkan pada aspek sosio historis, geografis, kultural dan antropologis wahyu. Studi terhadap latar belakang ini tidak jauh berbeda dengan yang diperkenalkan oleh Noldeke dalam karyanya, Geschichte des Qoran, sebagai “pendekatan historis tradisional”. Sedangkan yang kedua dimaksudkan pada pelacakan kata-kata semenjak pertama diturunkan, pemakaiannya dalam Alquran serta sirkulasinya dalam bahasa Arab. Dia memberi alasan bahwa Alquran datang dengan sebuah pakaian Arab (fî tsaubihi al-arabiy) dan karena itulah untuk memahami Alquran sesempurna mungkin kita harus mengetahui sejauh mungkin keadaan bangsa Arab ketika Alquran diturunkan.
Sayyid A. Khalil menilai, sebenarnya gagasan yang disampaikan al-Khuli tidak lain adalah gagasan yang telah diperkenalkan oeh Schleirmacher yang dikenal sebagai pendekatan hermeneutik. Khalil tidak berlebihan, sebab al-Khuli adalah sosok yang dikenal banyak berinteraksi dengan kajian-kajian Barat, khususnya di bidang sastra. Ini tidak berarti pendekatan tafsir seperti ini berasal dari Barat. Sebab jika ditelusuri pendekatan hermeneutik dalam mengkaji teks telah berkembang lama sejak awal masa islam. Ibnu Abbas, Abu Ubaydah, al-Zamakhsyari dan al-Jurjani tidak dapat diragukan lagi kedudukannya sebagai peletak dasar-dasar filologi dan sintaksis Alquran. Ini membuktikan adanya ta’tsîr dan ta’atstsur positif antara Barat dan Islam sejak dulu.
Sampai akhir hayatnya, al-Khuli tidak meninggalkan karya utuh sebagai penjabaran atas metodenya, kecuali beberapa buku kecil hasil ceramahnya di radio yang diberi judul Min Hadyil Qur’ân. Tetapi murid-muridnya seperti Bintu Syathi dan M.A. Khalfallah berhasil mempraktekkannya dengan apik dalam beberapa karya yang memberikan kontribusi besar dalam kajian Alquran modern.
B. Metodologi Penafsiran Modern
Di muka telah disinggung, metode dimaksud adalah cara yang digunakan mufassir untuk mengungkapkan segenap pandangan dan pikiran yang menjadi kecenderungannya.
Metode yang selama ini digunakan para mufasir sejak masa kodifikasi tafsir, yang oleh sementara pakar diduga dimulai oleh al-Farra (w.207 H), adalah menafsirkan Alquran ayat demi ayat sesuai dengan susunannya dalam mushaf. Segala segi yang ‘dianggap perlu’ oleh sang mufasir diuraikan, bermula dari arti kosa kata, asbab al-Nuzul, munasabah, dan lain-lain yang berkaitan dengan teks dan kandungan ayat. Metode ini dikenal dengan metode tahlily atau tajzi’iy dalam istilah Baqir Shadr. Para mufasir klasik umumnya menggunakan metode ini.  Kritik yang sering ditujukan pada metode ini adalah karena diangap menghasilkan pandangan-pandangan parsial. Bahkan tidak jarang ayat-ayat Alquran digunakan sebagai dalih pembenaran pendapat mufasir. Selain itu terasa sekali bahwa metode ini tidak mampu memberi jawaban tuntas terhadap persoalan-persoalan umat karena terlampau teoritis.
Sampai pada awal abad modern, penafsiran dengan berdasarkan urutan mushaf masih dapat ditemukan. Tafsir al-Manar, yang dikatakan Ibnu Asyur (JR) sebagai karya trio reformis  dunia islam; Afghani, Abduh dan Ridha, disusun dengan metode tersebut. Demikian pula karya karya reformis lainnya seperti, al-Qasimi, al-Maraghy, Izzat Darwaza dan Ibnu Asyur. Yang membedakan karya-karya modern dengan klasik, para mufasir modern tidak lagi terjebak pada penafsiran-penafsiran teoritis, tetapi lebih bersifat praktis. Jarang sekali ditemukan dalam karya mereka pembahasan gramatikal yang bertele-tela. Seolah-olah mereka ingin cepat sampai ke fokus permasalahan yaitu menuntaskan persoalan umat.
Sampai di sini, penulis merasa lebih sreg menyebut metode ini dengan metode maudhi’iy (sesuai tempat atau posisi ayat yang berurutan). Menyebutnya dengan tahlily, dengan pengertian analisis, terasa tumpang tindih dengan yang dikenal sebagai metode maudhu’iy (tematis atau topikal). Sebab karya-karya modern, meski banyak yang disusun sesuai dengan urutan mushaf tidak lagi mengurai penjelasan secara rinci. Bahkan tema-tema persoalan umat banyak ditemukan tuntas dalam karya seperti al-Manar. Demikian pula, metode maudhu’iy yang berkembang saat ini meski jarang menggunakan analisis gramatikal dalan lainnya, juga masih memerlukan analisis dengan teori-teori ilmu sosial modern misalnya.
Metode kedua yang dikembangkan mufasir modern, seperti telah disinggung, adalah metode maudhu’iy yang membahas tema-tema pokok dalam suatu surat atau ayat-ayat tertentu. Embrionya sudah lama muncul sejak diperkenalkan oleh al-Razy, al-Syathiby, Abu Hayyan dan al-Biqâ’iy. Kesemuanya berpendapat perlunya pemahaman ayat secara utuh. Di samping akan memunculkan sisi kemukjizatan Alquran, metode ini diharapkan mampu menuntaskan persoalan umat.
M. Abduh dalam beberapa karyanya telah menekankan kesatuan tema-tema Alquran. Namun gagasannya tersebut baru diwujudkan oleh murid-muridnya seperti M. Abdullah Diraz (bukan Darraz) dan Mahmud Syaltout. Pendekatan hermeneutik Barat yang diadopsi al-Khuli dalam ittijah adaby nya sebenarnya juga menitik beratkan pemahaman kesatuan teks-teks kitab suci. Al-Khuli misalnya menyatakan, “Yang ideal adalah menafsirkan Alquran secara tematis, tidak menurut urutan mushaf.”
Sejauh ini, penulis masih belum melihat pagar-pagar metodologis yang kuat dalam pengembangan metode ini, khususnya yang dikembangkan Quraish Shihab di IAIN. Sehingga kritik yang sering dilontarkan kepada metode klasik seperti, ‘tingginya subyektifitas penafsir’, ‘penafsiran yang ‘mengikat” generasi berikut’, ‘sebagai justifikasi pendapat mufasir’ juga akan dialaminya.
Quraish memberikan ilustrasi metode maudhi’iy (tahlily) sebagai penyajian makanan dalam bentuk hidangan prasmanan, sedangkan metode maudhu’iy (tematis) diilustrasikan seperti menyodorkan kepada para tamu sebuah kotak makanan. Yang ingin cepat tentu akan memilih kotak ketimbang harus memilih makanan di meja prasmanan. Banyak persoalan umat sekarang menuntut penyelesaian cepat. Maka maudhu’iy tentu lebih tepat. Tetapi yang perlu diingat, kotak-kotak makanan itu tentunya dibuat sesuai dengan dana yang tersedia dan kemampuan kateringnya. Yang membaca karya-karya tematis Quraish dan Dawam Raharjo dalam Ensiklopedi Alquran nya akan dapat merasakan kualitas ‘katering’ masing-masing.
Bentuk lain dari metode penyajian tafsir modern adalah artikel-artikel tafsir yang sering ditemukan dalam kolom-kolom harian. Di tahun 1959, Abdurahman al-Banna, saudara kandung Hasan al-Banna, misalnya, banyak menulis dalam harian umum Kairo, al-Jumhuriyya. Dalam artikel ringkas ini ia menawarkan suatu penafsiran terhadap surah al-Hujurat, di mana Alquran bicara tentang perselisihan dalam masyarakat muslim. Masing-masing ayat dalam surah ini dibahas olehnya dalam lebih dari satu artikel. Hal serupa juga sering dijumpai dalam jurnal al-Manar pimpinan Rasyid Ridha dan Risalat al-Islam pimpinan Syaltout yang mencurahkan pada persatuan umat islam (Al-Taqrib Bayn al-Madzahib).
Metode ini oleh Sayyed Mursy, dosen penulis di Al-Azhar, disebut dengan maudhu’iy muthlak (tidak terikat), sedangkan yang terdahulu disebut maudhu’iy muqayyad (terikat). Agaknya ketiga metode inilah yang banyak digunakan dalam menyajikan pesan-pesan Alquran oleh para mufasir modern. Wallahua`lam.

0 komentar

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA oleh Stit At-Taqwa pada 28 Februari 2011 jam 8:50

18.29 | Publish by Kang Wan Setiawan

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA
LATAR BELAKANG
Drs. H. Nana hanapiah, M.M.Pd
proses terjadinya pancasila dapat di badakan menjadi dua yaitu: asala mula yang langsung dan asal mula yang tidak langsung. Adapun pengrtian asal mula tersebut adalah sebagai berikut :
1. Asal Mula Langsung
Pengertian asal mula secara ilmiah filsafati di bedakan menjadi empat yaitu: causa materialis, causa formalis, causa efficient.
Adapun rincian asal mual langsung Pancasila menurut Notonegora adalah sebagai berikut :
a. Asal mula bahan (causa materialis)
Asal bahan Pancasila adalah bangsa Indonesia itu sendiri karena Pancasila di gali dari nilai-nilai, adapt-istiadat, kebudayaan serta nilai-nilai religius yang terdapat dalam kehidupan sehari hari bangsa Indonesia.
b. Asal mula bentuk (causa formalis)
Hal ini di maksudkan bagaimana asal mula bentu atau bagaimana bentuk Pancasila itu di rumuskan sebagaimana termuat dalam Pembukaan UUD 1945. maka asal mula bentuk Pancasila adalah ; Soekarno bersama-sam denagn Drs. Moh Hatta serta anggota BPUPKI lainya merumuskan dan membahas pancasila terutama hubungan bentuk,rumusan dan nama Pancasila.
c. Asal mula karya (causa efficient)
Asala mula karya yaitu asal mula yang menjadikan Pancasila dari calon dasar Negara menjadi dasar negarayang satu. Adapun asal mula krya adalah PPKI sebagai pembentuk Negara dan atas dasar pembentuk Negara tang mengesahkan Pncasila menjadi dasar Negara yang sah, setelah melakukan pembahasan baik yang di lakuakan oleh BPUPKU , Panitia Sembilan.
2. Asal mula tidak langsung
Asal mula tidak langsung pancasila bila dirinci adalah sebagai berikut:
a. unsur unsure Pancasila tersebut sebelum secara langsung dirumuskan menjadi dasar filsafat Negara. Nilai-nilainya yaitu nilai keuhanan, niali kemanusiaan, nilai persatuan, niali kerakyatan, niali keadilan telah ada dan tercermin dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia sebelum membentuk Negara.
b. Nilai-nilai tersebut terkandung dalam pandangan hidup masyarakat Indonesia sebelum membentuk Negara, yang berupa nilai-nilai adapt istiadat, nilai kebudayaan serta nilai religius. Nilai-nilai tersebut menjadi pedoman dalam memecahkan problema kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia.
c. Dengan demikian dapat disimpulakan bahwa asal mula tidak langsung Pancasila pada hakikatnya bangsa Indonesia sendiri, atau dengan kata lain bangsa Indonesia sebagai “Kausa materialis” atau sebagai asal mula tidak langsung nilai-nilai Pancasila.
Berdasarkan uraian di atas ,dapat membeikan gambaran pada kita bahwa pancasila itu pada hakikatnya adalah sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia yang jauh sebelum bangsa Indonesia membentuk Negara.
A. ARTI IDEOLOGI TERBUKA
Ideologi terbuka ialah bahwa nilai-nilai dan cita-citanya tidak dipaksakan dari luar, melainkan digali dan diambil dari kekayaan rohani, moral dan budaya masyarakatnya sendiri.
Ideologi terbuka adalah ideologi yang dapat berinteraksi dengan perkembangan zaman dan adanya dinamika secara internal. Sumber semangat ideologi terbuka itu sebenarnya terdapat dalam Penjelasan Umum UUD 1945, yang menyatakan, “... terutama bagi negara baru dan negara muda, lebih baik hukum dasar yang tertulis itu hanya memuat aturan-aturan pokok, sedangkan aturan-aturan yang menyelenggarakan aturan pokok itu diserahkan kepada undang-undang yang lebih mudah cara membuatnya, mengubahnya dan mencabutnya“.
B. FAKTOR PENDORONG KETERBUKAAN IDEOLOGI PANCASILA
Faktor yang mendorong pemikiran mengenai keterbukaan ideologi Pancasila adalah sebagai berikut :
a. Kenyataan dalam proses pembangunan nasional dan dinamika masyarakat yang berkembang secara cepat.
b. Kenyataan menunjukkan, bahwa bangkrutnya ideologi yang tertutup dan beku dikarenakan cenderung meredupkan perkembangan dirinya.
c. Pengalaman sejarah politik kita di masa lampau.
d. Tekad untuk memperkokoh kesadaran akan nilai-nilai dasar Pancasila yang bersifat abadi dan hasrat mengembangkan secara kreatif dan dinamis dalam rangka mencapai tujuan nasional.
Keterbukaan ideologi Pancasila terutama ditujukan dalam penerapannya yang berbentuk pola pikir yang dinamis dan konseptual dalam dunia modern. Kita mengenal ada tiga tingkat nilai, yaitu nilai dasar yang tidak berubah, nilai instrumental sebagai sarana mewujudkan nilai dasar yang dapat berubah sesuai keadaan dan nilai praktis berupa pelaksanaan secara nyata yang sesungguhnya. Nilai-nilai Pancasila dijabarkan dalam norma - norma dasar Pancasila yang terkandung dan tercermin dalam Pembukaan UUD 1945. Nilai atau norma dasar yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 ini tidak boleh berubah atau diubah. Karena itu adalah pilihan dan hasil konsensus bangsa yang disebut kaidah pokok dasar negara yang fundamental (Staatsfundamentealnorm). Perwujudan atau pelaksanaan nilai-nilai instrumental dan nilai-nilai praktis harus tetap mengandung jiwa dan semangat yang sama dengan nilai dasarnya.
C. BATAS-BATAS KETERBUKAAN IDEOLOGI PANCASILA
Sungguhpun demikian, keterbukaan ideologi Pancasila ada batas-batasnya yang tidak boleh dilanggar, yaitu sebagai berikut :
a. Stabilitas nasional yang dinamis.
b. Larangan terhadap ideologi marxisme, leninisme dan komunisme.
c. Mencegah berkembangnya paham liberal.
d. Larangan terhadap pandangan ekstrim yang mengelisahkan kehidupan masyarakat.
e. Penciptaan norma yang baru harus melalui konsensus.

1 komentar

Hakikat dan Urgensi Bimbingan dan Konseling oleh Stit At-Taqwa pada 28 Februari 2011 jam 8:57

18.28 | Publish by Kang Wan Setiawan

Hakikat dan Urgensi Bimbingan dan Konseling

Dasar pemikiran penyelenggaraan bimbingan dan konseling di Sekolah/Madrasah, bukan semata-mata terletak pada ada atau tidak adanya landasan hukum (perundang-undangan) atau ketentuan dari atas, namun yang lebih penting adalah menyangkut upaya memfasilitasi peserta didik yang selanjutnya disebut konseli, agar mampu mengembangkan potensi dirinya atau mencapai tugas-tugas perkembangannya (menyangkut aspek fisik, emosi, intelektual, sosial, dan moral-spiritual).
Konseli sebagai seorang individu yang sedang berada dalam proses berkembang atau menjadi (on becoming), yaitu berkembang ke arah kematangan atau kemandirian. Untuk mencapai kematangan tersebut, konseli memerlukan bimbingan karena mereka masih kurang memiliki pemahaman atau wawasan tentang dirinya dan lingkungannya, juga pengalaman dalam menentukan arah kehidupannya. Disamping itu terdapat suatu keniscayaan bahwa proses perkembangan konseli tidak selalu berlangsung secara mulus, atau bebas dari masalah. Dengan kata lain, proses perkembangan itu tidak selalu berjalan dalam alur linier, lurus, atau searah dengan potensi, harapan dan nilai-nilai yang dianut.
Perkembangan konseli tidak lepas dari pengaruh lingkungan, baik fisik, psikis maupun sosial. Sifat yang melekat pada lingkungan adalah perubahan. Perubahan yang terjadi dalam lingkungan dapat mempengaruhi gaya hidup (life style) warga masyarakat. Apabila perubahan yang terjadi itu sulit diprediksi, atau di luar jangkauan kemampuan, maka akan melahirkan kesenjangan perkembangan perilaku konseli, seperti terjadinya stagnasi (kemandegan) perkembangan, masalah-masalah pribadi atau penyimpangan perilaku. Perubahan lingkungan yang diduga mempengaruhi gaya hidup, dan kesenjangan perkembangan tersebut, di antaranya: pertumbuhan jumlah penduduk yang cepat, pertumbuhan kota-kota, kesenjangan tingkat sosial ekonomi masyarakat, revolusi teknologi informasi, pergeseran fungsi atau struktur keluarga, dan perubahan struktur masyarakat dari agraris ke industri.
Iklim lingkungan kehidupan yang kurang sehat, seperti : maraknya tayangan pornografi di televisi dan VCD; penyalahgunaan alat kontrasepsi, minuman keras, dan obat-obat terlarang/narkoba yang tak terkontrol; ketidak harmonisan dalam kehidupan keluarga; dan dekadensi moral orang dewasa sangat mempengaruhi pola perilaku atau gaya hidup konseli (terutama pada usia remaja) yang cenderung menyimpang dari kaidah-kaidah moral (akhlak yang mulia), seperti: pelanggaran tata tertib Sekolah/Madrasah, tawuran, meminum minuman keras, menjadi pecandu Narkoba atau NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya, seperti: ganja, narkotika, ectasy, putau, dan sabu-sabu), kriminalitas, dan pergaulan bebas (free sex).
Penampilan perilaku remaja seperti di atas sangat tidak diharapkan, karena tidak sesuai dengan sosok pribadi manusia Indonesia yang dicita-citakan, seperti tercantum dalam tujuan pendidikan nasional (UU No. 20 Tahun 2003), yaitu: (1) beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (2) berakhlak mulia, (3) memiliki pengetahuan dan keterampilan, (4) memiliki kesehatan jasmani dan rohani, (5) memiliki kepribadian yang mantap dan mandiri, serta (6) memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Tujuan tersebut mempunyai implikasi imperatif (yang mengharuskan) bagi semua tingkat satuan pendidikan untuk senantiasa memantapkan proses pendidikannya secara bermutu ke arah pencapaian tujuan pendidikan tersebut.
Upaya menangkal dan mencegah perilaku-perilaku yang tidak diharapkan seperti disebutkan, adalah mengembangkan potensi konseli dan memfasilitasi mereka secara sistematik dan terprogram untuk mencapai standar kompetensi kemandirian. Upaya ini merupakan wilayah garapan bimbingan dan konseling yang harus dilakukan secara proaktif dan berbasis data tentang perkembangan konseli beserta berbagai faktor yang mempengaruhinya.
Dengan demikian, pendidikan yang bermutu, efektif atau ideal adalah yang mengintegrasikan tiga bidang kegiatan utamanya secara sinergi, yaitu bidang administratif dan kepemimpinan, bidang instruksional atau kurikuler, dan bidang bimbingan dan konseling. Pendidikan yang hanya melaksanakan bidang administratif dan instruksional dengan mengabaikan bidang bimbingan dan konseling, hanya akan menghasilkan konseli yang pintar dan terampil dalam aspek akademik, tetapi kurang memiliki kemampuan atau kematangan dalam aspek kepribadian.
Pada saat ini telah terjadi perubahan paradigma pendekatan bimbingan dan konseling, yaitu dari pendekatan yang berorientasi tradisional, remedial, klinis, dan terpusat pada konselor, kepada pendekatan yang berorientasi perkembangan dan preventif. Pendekatan bimbingan dan konseling perkembangan (Developmental Guidance and Counseling), atau bimbingan dan konseling komprehensif (Comprehensive Guidance and Counseling). Pelayanan bimbingan dan konseling komprehensif didasarkan kepada upaya pencapaian tugas perkembangan, pengembangan potensi, dan pengentasan masalah-masalah konseli. Tugas-tugas perkembangan dirumuskan sebagai standar kompetensi yang harus dicapai konseli, sehingga pendekatan ini disebut juga bimbingan dan konseling berbasis standar (standard based guidance and counseling). Standar dimaksud adalah standar kompetensi kemandirian (periksa lampiran 1).
Dalam pelaksanaannya, pendekatan ini menekankan kolaborasi antara konselor dengan para personal Sekolah/ Madrasah lainnya (pimpinan Sekolah/Madrasah, guru-guru, dan staf administrasi), orang tua konseli, dan pihak-pihak ter-kait lainnya (seperti instansi pemerintah/swasta dan para ahli : psikolog dan dokter). Pendekatan ini terintegrasi dengan proses pendidikan di Sekolah/Madrasah secara keseluruhan dalam upaya membantu para konseli agar dapat mengem-bangkan atau mewujudkan potensi dirinya secara penuh, baik menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar, maupun karir.
Atas dasar itu, maka implementasi bimbingan dan konseling di Sekolah/Madrasah diorientasikan kepada upaya memfasilitasi perkembangan potensi konseli, yang meliputi as-pek pribadi, sosial, belajar, dan karir; atau terkait dengan pengembangan pribadi konseli sebagai makhluk yang berdimensi biopsikososiospiritual (biologis, psikis, sosial, dan spiritual).
DAFTAR RUJUKAN
AACE. (2003). Competencies in Assessment and Evaluation for School Counselor. http://aace.ncat.edu
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. (2007). Penataan Pendidikan Profesional Konselor. Naskah Akademik ABKIN (dalam proses finalisasi).
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. (2005). Standar Kompetensi Konselor Indonesia. Bandung: ABKIN
Bandura, A. (Ed.). (1995). Self-Efficacy in Changing Soceties. Cambridge, UK: Cambridge University Press.
BSNP dan PUSBANGKURANDIK, Balitbang Diknas. (2006). Panduan Pengembangan Diri: Pedoman untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Draft. Jakarta: BSNP dan PUSBANGKURANDIK, Depsiknas.
Cobia, Debra C. & Henderson, Donna A. (2003). Handbook of School Counseling. New Jersey, Merrill Prentice Hall
Corey, G. (2001). The Art of Integrative Counseling. Belomont, CA: Brooks/Cole.
Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Pendidikan Tinggi. (2003). Dasar Standardisasi Profesionalisasi Konselor. Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kepen-didikan dan Ketenagaan Pendidikan Tinggi, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.
Engels, D.W dan J.D. Dameron, (Eds). (2005). The Professional Counselor Competencies: Performance Guidelines and Assessment. Alexandria, VA: AACD.
Browers, Judy L. & Hatch, Patricia A. (2002). The National Model for School Counseling Programs. ASCA (American School Counselor Association).
Comm, J.Nancy. (1992). Adolescence. California : Myfield Publishing Company.
Depdiknas. (2003). Pelayanan Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Puskur Balitbang.
Depdiknas, (2005), Permen RI nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan,
Depdiknas, 2006), Permendiknas no 22 tahun 2006 tentang Standar Isi,
Depdiknas, (2006), Permendiknas no 24 tahun 2006 tentang pelaksanaan SI dan SKL,
Ellis, T.I. (1990). The Missouri Comprehensive Guidance Model. Columbia: The Educational Resources Information Center.
Gibson R.L. & Mitchel M.H. (1986). Introduction to Counseling and Guidance. New York : MacMillan Publishing Company.
Havighurts, R.J. (1953). Development Taks and Education. New York: David Mckay.
Herr Edwin L. (1979). Guidance and Counseling in the Schools. Houston : Shell Com.
Hurlock, Alizabeth B. (1956). Child Development. New York : McGraw Hill Book Company Inc.
Ketetapan Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia Nomor 01/Peng/PB-ABKIN/2007 bahwa Tenaga Profesional yang melaksanakan pelayanan professional Bimbingan dan Konseling disebut Konselor dan minimal berkualifikasi S1 Bimbingan dan Konseling.
Menteri Pendidikan Nasional. 2006. Peraturan Menteri Nomor 22 tentang Standar Isi. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Menteri Pendidikan Nasional. 2006. Peraturan Menteri Nomor 23 tentang Standar Kompetensi Lulusan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Michigan School Counselor Association. (2005). The Michigan Comprehensive Guidance and Counseling Program.
Muro, James J. & Kottman, Terry. (1995). Guidance and Counseling in The Elementary and Middle Schools. Madison : Brown & Benchmark.
Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Pikunas, Lustin. (1976). Human Development. Tokyo : McGraw-Hill Kogakusha,Ltd.
Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas. (2003). Panduan Pelayanan Bimbingan dan Konseling. Jakarta : Balitbang Depdiknas.
Sunaryo Kartadinata, dkk. (2003). Pengembangan Perangkat Lunak Analisis Tugas Perkembangan Peserta didik dalam Upaya Meningkatkan Mutu Pelayanan dan Manajemen Bimbingan dan Konseling di Sekolah/Madrasahdrasah (Laporan Riset Unggulan Terpadu VIII). Jakarta : Kementrian Riset dan Teknologi RI, LIPI.
Syamsu Yusuf L.N. (2005). Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah/Madrasah. Bandung : CV Bani Qureys.
——–. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : Remaja Rosda Karya.
——–.dan Juntika N. (2005). Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung : PT. Remaja Rosda Karya.
Stoner, James A. (1987). Management. London : Prentice-Hall International Inc.
Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang-Undang Nomor 14 tahun 2006 tentang Guru dan Dosen
Wagner William G. (1996). “Optimal Development in Adolescence : What Is It and How Can It be Encouraged”? The Counseling Psychologist. Vol 24 No. 3 July’96.
Woolfolk, Anita E. 1995. Educational Psychology. Boston : Allyn & Bacon.
*)) Materi di atas merupakan salah satu bagian dari makalah yang disajikan oleh Dr. Uman Suherman, M.Pd. pada acara seminar sehari Bimbingan dan Konseling yang diselenggarakan oleh Universitas Kuningan bekerja sama dengan ABKIN Cabang Kabupaten Kuningan pada tanggal 11 Maret 2008 bertempat di Aula Student Center UNIKU.

0 komentar
Postingan Lama »
Langganan: Postingan (Atom)

asma'ul husna wan setiawan

wan's calendar

hours wan setiawan

Mengenai Saya

Foto saya
Kang Wan Setiawan
masih ingin terus belajar
Lihat profil lengkapku

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.

daftar kunjungan


ShoutMix chat widget

Blog Archive

  • ▼  2011 (33)
    • ▼  Juli (33)
      • Rubah dan pangeran Kecil
      • Adez The Journey Part II
      • Madrasah dan Sekolah Islam Unggulan oleh Stit At-T...
      • Sejarah Pendidikan Agama Islam Masa Abbasiyah (MK:...
      • SEJARAH TAFSIR KLASIK DAN MODERNKKN 2011 Kec. Ibun...
      • PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA oleh Stit At-Ta...
      • Hakikat dan Urgensi Bimbingan dan Konseling oleh S...
      • ADMINISTRASI PENDIDIKAN MANAGEMENT DAN KEPEMIMPINA...
      • HAKIKAT PENDIDIKAN ISLAM (MK: FILSAFAT PENDIDIKAN ...
      • Pengertian Penelitian, Metode Penelitian Dan Berfi...
      • PENGERTIAN MAKKIYAH & MADANIYAH DAN PERKARA BERKAI...
      • PENURUNAN AL-QURAN (NUZUL AL-QURAN) oleh Stit At-T...
      • TAFSIR, TA’WIL DAN KAIDAHNYA oleh Stit At-Taqwa pa...
      • SEMBILAN CIRI MANUSIA TERBAIK oleh Stit At-Taqwa p...
      • TAHAPAN-TAHAPAN PENELITIAN KUALITATIF oleh Stit At...
      • Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan PraktikPend...
      • Sekilas Tentang Metodologi Penelitian oleh Stit At...
      • Nilai Edukatif dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz
      • Amm dan KhosPuji dan syukur marilah kita panjatkan...
      • Aliran Pragmatisme dan Progresivisme Pendidikan (F...
      • Sejarah Perkembangan Ilmu Logika (1)
      • Definisi dan Pengertian Ilmu Logika/ kalam
      • IBADAH DAN TEKHNOLOGI MODERN
      • SEBAB-SEBAB TERJADINYA PERBEDAAN PENDAPAT DALAM HU...
      • SWEET HOLIDAY
      • SuntingKilas balik 2010oleh El Wan's pada 21 Des...
      • 01 january 2010 kembali bertemu dengan orang terk...
      • FILSAFAT ILMU
      • PENGERTIAN AKHALAK TASAWUF
      • FSIKOLOGIS PENDIDIKAN
      • PENGERTIAN FILSAFAT
      • SAYA BELAJAR DAN KU KATAKAN CINTA
      • hi gorgeous
Copyright (c) 2010 Curhat Bersama Kang Wan Setiawan. Design by Template Lite
Download Blogger Templates And Directory Submission.