skip to main | skip to sidebar

Pages

  • Beranda

Curhat Bersama Kang Wan Setiawan

ADMINISTRASI PENDIDIKAN MANAGEMENT DAN KEPEMIMPINAN oleh Stit At-Taqwa pada 03 Maret 2011 jam 8:45

18.26 | Publish by Kang Wan Setiawan

ADMINISTRASI PENDIDIKAN MANAGEMENT
DAN KEPEMIMPINAN





KATA PENGANTAR

Alhamdulillah kami panjatkan puji syukur kepada Allah SWT. yang telah memberikan nikmat-Nya kepada kami yang berupa nikmat kesehatan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Kami mengucapkan banyak terimakasih kepada dosen khususnya pada dosen kependidikan yang telah membimbing dan memotivasi kami dalam penulisan makalah ini.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Disadari atau tidak hakikat sesuatu di dunia ini perlu di atur, pengaturan yang di maksud mengarah kepada usaha kelancaran, keteraturan, kedinamisan, dan ketertiban suatu usaha yang dapat dibayangkan apabila pengaturan yang tidak ada, bahkan dunia ini telah hancur sejak dulu kala.
Pada abad sekarang, penuh dengan kekomplekan dan problem pada problem tersebut menyangkut politik, sosial, ekonomi, budaya, dan kenegaraan. Sebab itulah mutlak diperlukan pengadministrasian bahkan Sondang Siagian menyebut abad kini adalah “Abad Administrasi ” (Sondang Siagian, 1978:2)
Charles A. Beard, pernah berkata “tidak suatu hal untuk abad modern sekarang ini yang lebih penting dari administrasi”. Kelangsungan pemerintah yang beradad itu sendiri akan sangat bergantung atas kemampuan kita untuk membina dan mengembangkan filsafat administrasi yang mampu memecahkan masalah masyarakat modern .
Sebenarnya administrasi sudah ada sejak timbulnya peradaban manusia pada zaman modern perkembangan administrasi yang dilandasi dengan munculnya tokoh-tokoh baru di bidang administrasi dan manajemen. Frederik W. Taylor telah memelopori timbulnya “gerakan manajemen ilmiah “ di Amerika Serikat disusul Henry Fayol (dari Francis) yang membahas manajemen perusahaan dengan bukunya general atau industrial manjemen “pada akhirnya Taylor dianggap sebagai bapak manajemen.
Apabila sekelompok orang bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan maka perlu adanya pengaturan segenap rangkaian kegiatan dalam mengatur usaha kerja sama memungkingkan bersatu untuk mencapai tujuan lalu lintas tersebut telah terkandung pengertian admistrasi demikian setiap ada kegiatan yang nampaknya ada kerja sama dari sekelompok manusia secara teratur untuk mencapai tujuan tertentu, disuruhlah administrasi muncul.


B. Rumusan Masalah
1. Bagaiman administrasi pendidikan itu ?
2. Apakah kepemimpinan dalam pendidikan ?

C. Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan penelitian ini ialah untuk lebih mengetahui pokok-pokok materi tentang konsep administrasi pendidikan dalam hubungannya dalam manajemen dan kepemimpinan dalam pendidikan.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Administrasi Pendidikan
Suatu kata “administrasi” berasal dari bahasa latin yang terdiri dari kata ad dan ministrate. Kata ad mempunyai arti yang sama dengan arti to dalam bahasa inggris yang berarti “ke” atau “kepada” dan ministrate “melayani”, “membantu” atau mengarahkan dan mengatur.
Suatu kata “ administrasi “ dapat diartikan sebagai suatu kegiatan atau usaha untuk membantu, melayani, mengarahkan atau mengatur semua kegiatan dalam mencapai suatu tujuan.
Frederick Taylor (1856) sering di sebut sebagai suatu gerakan manajemen berdasarkan ilmu pengetahuan. Dengan demikian ia dapat pula dikatakan senagai pelopor dari timbulnya ilmu adinistrasi. Ia pernah bekerja sebagai buruh rendahan sampai pada tingkat paling tinggi di dalam perusahaan. Berdasarkan pengalaman itu, ia mengemukakan dalam tulisannya bebrerapa prinsip managemen dalam pengelolaan perusahaan, antra lain prinsip waktu, upah, pemisahan dan fungsi manjemen.
Administrasi pendidikan ialah suatu proses pengarahan dan pengintegrasian segala sesuatu, baik personal spiritual maupum material, yang bersangkut paut dengan pencapaintujuan pendidikan jadi didalam proses pencapain tujuan pndidikan itu diintegrasikan, diorganisasikan dan dikoordinasi secara efektif. dan semua materi yang di perlukan dan yang telah ada dimanfaatkan secara efesien
Sedangkan pendidikan, baik diartikan sebagai proses atau produk adalah masalah perseorangan anak didik sendirilah yang harus membuat perubahan didalam dirinya sesuai dengan yang di kehendakinya. Proses pendidikan terjadi dalam individu dan produk pendidikan menyatakan diri dalam tingkah lakunya.
Dalam buku kurikulum usaha pendidikan dalam bidang Pendidikan dan Administrasi Pendidikan dari Departemen P dan K, dapat kita baca rumusan tentang administrasi pendidikan sebagai berikut : Administrasi pendidikan serta proses keseluruhan, kegiatan bersama dalam pendidikan melipluti perencanaan, pengorganisasian, pengesahan, pelaporan, pengkoordinasian, pengawasan dan penjayaan, dengan menggunakan dan memanfaatkan fasilitas yang tersedia, baik personil maupun spiritual, untuk mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efesien.
Atau secara singkat dapat juga dikatakan : Administasi pendidikan ialah pembinaan, pengawasan, dam pelaksanaan dari segala sesuatu yang berhubungan dengan urusan-urusan sekolah.

B. Manajemen Atau Administrasi Pendidikan
Manajemen suatu proses yang menyelenggarakan atau mengawasi suatu tujuan tertentu. Atau manajemen adalah fungsi dewan manajer yang menetapkan kebijakan mengenai macam produk yang akan di buat, bagaimana pembiyaannya memberikan servis dan memilih serta melatih pegawai dan lain-lain. Faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan suatu usaha. Lebih manajemen bertanggung jawab dalam membuat susunan organisasi yang melaksanakan kebijakan.
Demikian fungsi fungsi pokok yang bisa di bicarakan dalam manajemen perusahaan seperti planing, organising, actualing, control, yang merupakan fungsi pokok administrasi pendidikan. Dengan demikian makin jelas bagitu kita bahwa kata manajemen dan administrasi pendidikan keduanya dapat kita pergunakan untuk menjelaskan pengertian yang bersamaan.


C. Pemimpin dalam Pendidikan dan Hubungannya Dengan Manajemen dan Administrasi
1. Pengertian kepemimpinan dan hubungannya dengan manajemen, administrasi, kepemimpinan dalam pendidikan.
a. Beberapa konsep dalam pendidikan dan hubungan-hubungannya
1. Pemimpin merupakan suatu kemampuan yang berupa sifat-sifat yang di bawa sejak lahir yang ada pada diri seseorang pemimpin.
2. Pemimipin sebagai fungsi kelompok yang mana tidaknya suatu kepemimpinan tidak hanya dipengaruhi oleh kemampuan sifat-sifat yang ada pada seseorang tetapi yang justru yang lebih penting adalah dipengaruhi oleh sifat-sifat dan ciri-ciri kelompok yang dipimpinnya.
3. Pemimpin tidak hanya didasari atas pandangan yng bersifat psikologis dan sosiologis tetapi atas juga ekonomi dan politis.
b. Definisi kepemimpinan dan hubungannya dengan pendidikan
Prajudi Atmosudirdjo mengemukakan sebagai berikut :
1. Pemimpin sebagai suatu kepribadian seseorang yang mendatangkan keinginan pada kelompok orang-orang untuk mencontohnya atau mengikutinya dengan apa-apa yng dilakukannya yang dikehendakinya.
2. Peminpin dapat pula dipandang sebagai sesuatu sarana, suatu intrumen atau alat untuk membuat sekelompok orang-orang untuk mau bekerja sama dan berdaya upaya mentaati segala peraturan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditentukan.
3. Hubungan pemimpin dengan anggota bawahan baik, pemimpin disenangi oleh anggota kelompoknya ditaati segala perintahnya, dan harus memeliki sifat yang baik untuk bdapat memberikan bimbingan sekaligus memberi contoh kepada peserta / anak didiknya.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Administrasi pendidikan adalah aktivitas untuk meneliti dan mengetahui sampai dimana pelaksanaan yang dilakukan dalan proses keseluruhan organisasi untuk mencapai hasil sesuai dengan rencana atau program yang telah ditetapkan dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan
Pemimpin harus berprilaku sebagai seseorang yang memotifasi bawahannya, mentapkan standart yang tinggi, memperhatikan perbedaan individu dan cenderung lebih menyukai pendekatan tim dan pemimpin harus berprilaku sebagai pelatih yang teliti dan tidak berat sebelah dalam melaksanakn perintah dan peraturan-peraturannya baik itu dalam lingkup lingkungan sekolah maupun dalam perusahaan.

B. Saran
Demikian beberapa catatan dapat kami tulis tentang “Aministrasi pendidikan, manajemen dan kepemimpinan” saya sebagai manusia biasa yang tidak lepas dari salah dan lupa saya mohon maaf yang tiada batasnya dan saya mohon bimbingan demi pembenaran makalah ini juga dalam perbaikan makna.


 DAFTAR PUSTAKA

Dep. P dan K., Kurikulum Usaha Perbaikan dalam Bidang Pendidikan dan Administrasi Pendidikan. Tahun III Pelita,1971/1972.
Prajudi Atmosudirdjo, Dr. Sondang P., Filsafat Administrasi, Cetakan ke-2, Gunung Agung. Jakarta, 1971.
Sutarto. Drs., Dasar-dasar Kepemimpinan Administrasi. Gajah Mada University Press, Yogyakarta 1986.

0 komentar

HAKIKAT PENDIDIKAN ISLAM (MK: FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAMI) oleh Stit At-Taqwa pada 16 Januari 2011 jam 8:38

21.37 | Publish by Kang Wan Setiawan

HAKIKAT PENDIDIKAN ISLAM (MK: FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAMI)

oleh Stit At-Taqwa pada 16 Januari 2011 jam 8:38
HAKIKAT PENDIDIKAN ISLAM


Berbicara masalah pendidikan merupakan suatu kajian yang cukup menarik, karena pemahaman makna tentang pendidikan sendiri pun juga beragam. Perlu diktehui bahwa banyak sekali istilah-istilah dalam pendidikan itu sendiri, seperti pengajaran, pembelajaran, paedagogi, pendidikan, pelatihan, dan lain sebagainya. Semua itu dapat kita jumpai dalam buku-buku yang mengkaji tentang pendidikan.
Pendidikan menurut Marimba adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Dalam pendidikan yang dijelaskan tersebut di atas, bahwa dalam pendidikan terdapat beberapa unsur:
  1. Usaha (kegiatan) yang bersifat bimbingan dilakukan secara sadar.
  2. Ada pendidik, pemimpin atau penolong.
  3. Ada peserta didik, anak didik.
  4. Bimbingan itu mempunyai dasar dan tujuan.
  5. Dalam usaha itu terdapat alat-alat yang dipergunakan.
Dari pemaknaan tersebut, dinyatakan bahwa pendidikan terbatas kepada pengembangan anak didik oleh pendidik, jadi terdapat pengaruh dari orang per orang atau manusia lain secara sadar. Kemudian, bagaimana dengan pendidikan yang dilakukan secara pribadi, dilakukan oleh alam, dilakukan oleh alam gaib dan lain sebagainya? apakah seperti itu tidak termasuk pendidikan? Dan pemaknaan pendidikan menurut Marimba ini yang dikatakan terbatas, karena pemahaman arti tersebut hanya bersifat kelembagaan saja, baik di keluarga, sekolah maupun masyarakat. Kenyataanya bahwa dalam proses menuju perkembangan yang sempurna itu seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh orang lain, tetapi ia juga menerima pengaruh(entah itu bimbingan atau bukan, tidak menjadi soal) dari selain manusia.
Sementara itu, Al Syaibany memaknai pendidikan adalah suatu proses pertumbuhan membentuk pengalaman dan perubahan yang dikehendaki dalam tingkah laku individu dan kelompok hanya akan berhasil melalui interaksi seseorang dengan perwujudan dan benda sekitar serta dengan alam sekelilingnya, tempat ia hidup, benda dan persekitaran adalah sebagian alam luas tempat insan itu sendiri dianggap sebagai bagian dari padanya. Dari pengertian tersebut dinyatakan bahwa al Syaibany memahami bahwa pendidikan tidak hanya dipengaruhi dari individu lain, akan tetapi adanya interaksi dengan alam sekelilingnya dimana ia berada dan ia menjadi bagian di dalamnya. Menurut Ali Ashraf, bahwa pendidikan adalah sebuah aktivitas tertentu yang memiliki maksud tertentu, yang diarahkan untuk mengembangkan individu sepenuhnya. Berbeda pula dengan apa yang diungkapkan oleh Ali Ashraf, bahwa dalam memaknai pendidikan bisa memerlukan suatu pengaruh, bimbingan ataupun panduan, namun bisa juga tidak, yang terpenting jelas adanya aktifitas tertentu dalam rangka mengembangkan individu secara penuh. Di sisi lain, Azyumardi Azra menyatakan bahwa pendidikan lebih daripada sekedar pengajaran, yang dapat dikatakan sebagai suatu proses transfer ilmu belaka, bukan transformasi nilai dan pembentukan kepribadian dengan segala aspek yang dicakupnya. Jelas bahwa apa yang dinyatakan Azra, pengajaran lebih berorientasi pada pembentukan tukang-tukang atau para spesialis yang terkurung dalam ruang spesialisasinya yang sempit, karena itu perhatian dan minatnya pun lebih bersifat teknis. Adapun istilah manapun yang akan diambil terserah kita akan berpijak kemana, karena penulis tidak membatasi makna pendidikan secara sebenarnya.
Dari penjelasan tentang pendidikan, maka bagaimana pula dengan pendidikan Islam? Bagaimana pula dengan ilmu pendidikan Islam? Apakah keduanya sama atau kah terdapat perbedaan?
Kata Islam dalam pendidikan Islam menunjukkan warna pendidikan tertentu, yaitu pendidikan yang berwarna Islam, pendidikan yang islami, yaitu pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam, namun apakah itu yang dinamakan pendidikan Islam? Menurut Azra, bahwa pendidikan yang dilekatkan dengan kata Islam telah didefinisakan secara berbeda-beda oleh berbagai kalangan, yang banyak dipengaruhi oleh pandangan dunia (weltanschauung) masing-masing. Namun, pada dasarnya, semua pandang yang berbeda itu bertemu dalam suatu pemahaman bahwa pendidikan merupakan suatu proses penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien. Dalam Islam dapat kita jumpai beberapa istilah tentang pendidikan, yaitu al Ta’lim, al Ta’dib, al Riyadhat, al Tarbiyyah dan lain sebagainya. Al Ta’lim dapat diartikan dengan pengajaran. Tetapi menurut Sayid Muhammad al Naquib al Attas, bahwa istilah al Ta’dib adalah istilah yang paling tepat digunakan untuk menggambarkan pengertian pendidikan, sementara istilah tarbiyah terlalu luas karena pendidikan dalam istilah ini mencakup juga pendidikan untuk hewan. Al Attas menjelaskan bahwa Ta’dib berasal dari masdar Addaba yang diturunkan menjadi kata Adabun, berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hierarkis sesuai dengan berbagai tingkat dan derajat tingkatan mereka dan tentang tempat seseorang yang tepat dalam hubungannyadengan hakikat itu serta dengan kapasitas dan potensi jasmaniah, intelektual, maupun rohaniah seseorang. Definisi ini berbau filsafat, sehingga intinya adalah pendidikan menurut Islam sebagai usaha agar orang mengenali dan mengakui tempat Tuhan dalam kehidupan ini. Sebaliknya, Abdurrahman al Nahlawi merumuskan definisi pendidikan dari kata al Tarbiyyah, yaitu pertama kata raba-yarbu yang berarti bertambah, bertumbuh, seperti yang terdapat dalam Al Qur'an surat al Rum ayat 39; kedua, rabiya-yarba yang berarti menjadi besar; ketiga, dari kata rabba-yarubbu yang berarti memperbaiki, menguasai urusan, menuntun, menjaga, memelihara. Menurut Imam al Baidlawi, di dalam tafsirnya arti asal al rabb adalah al Tarbiyah, yaitu menyampaikan sesuatu sedikit demi sedikit sehingga sempurna. Berdasarkan ketiga kata itu, Abdurrahman al Bani menyimpulkan bahwa pendidikan terdiri atas empat unsur, yaitu pertama, menjaga dan memelihara fitrah anak menjelang dewasa; kedua, mengembangkan seluruh potensi; ketiga, mengarahkan seluruh fitrah dan potensi menuju kesempurnaan; keempat, dilaksanakan secara bertahap. Dari sini, jelas bahwa pendidikan menurut Islam adalah pengembangan seluruh potensi anak didik secara bertahap menurut ajaran Islam.
Adapun pendidikan Islam, menurut M. Yusuf al Qardhawi adalah pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan ketrampilannya. Karenanya pendidikan Islam berupaya menyiapkan manusia untuk hidup baik dalam keadaan damai maupun perang, dan menyiapkannya untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya. Sementara itu, Hasan Langgulung merumuskan pendidikan Islam sebagai suatu proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan kemampuan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal dan memetik hasilnya kelak di akhirat. Dengan demikian pendidikan Islam adalah suatu proses pembentukan individu berdasarkan ajaran-ajaran Islam yang diwahyukan Allah SWT Kepada Muhammad SAW.
Selain pendidikan Islam juga terdapat ilmu pendidikan Islam. Ilmu pendidikan Islam adalah ilmu pendidikan yang berdasarkan Islam. Isinya ilmu adalah teori, seperti ilmu bumi adalah teori tentang bumi, ilmu dagang adalah teori tentang dagang dan lain sebagainya. Sehingga ilmu pendidikan Islam adalah teori-teori tentang pendidikan berdasarkan Islam. Sebenarnya apakah isi ilmu itu hanya teori? Secara esensialnya berupa teori, tetapi secara lengkap isi suatu ilmu bukan saja teori, akan tetapi juga penjelasan-penjelasan tentang teori itu serta kadang-kadang terdapat data-data yang mendukung penjelasan itu. Sehingga isi ilmu terdapat tiga hal, yaitu teori, penjelasan dan data. Jadi, jika kita menemukan buku ilmu pendidikan Islam, maka sudah sewajarnya berisi ketiga komponen tersebut.
Pemahaman tentang ilmu pendidikan Islam, menurut Ahmad Tafsir ilmu adalah sejenis pengetahuan manusia yang diperoleh dengan riset terhadap obyek-obyek yang empiris, benar tidaknya suatu teori ilmu ditentukan oleh logis tidaknya dan ada tidaknya bukti empiris. Bila teori itu logis dan ada bukti empiris, maka teori ilmu itu benar. Oleh karena itu, dalam ilmu pendidikan Islam harus terdapat teori-teori yang dapat diuji secara logis dan sekaligus empiris. Apabila tidak bisa, maka bukan suatu ilmu pendidikan Islam, bahkan mungkin ilmu pendidikan Islam adalah mistis (khayalan). Tafsir dalam bukunya menjelaskan definisi ilmu pendidikan Islam sebatas untuk membedakan antara ilmu pendidikan Islam dan filsafat pendidikan Islam. Filsafat pendidikan Islam merupakan kumpulan teori pendidikan Islam yang hanya dapat dipertanggungjawabkan secara logis dan tidak akan dapat dibuktikan secara empiris. Masih menurut Tafsir bahwa untuk memahami tentang ilmu pendidikan Islam dapat dilakukan dengan cara merumuskan lebih dahulu definisi ilmu, definisi pendidikan dan definisi Islam, setelah itu disusun rumusan tentang ilmu pendidikan Islam.
C. Hakikat Tujuan Pendidikan Islam
Bahwa setiap kegiatan apapun tentunya memiliki suatu tujuan, terdapat sesuatu yang ingin dicapai. Karena dengan tujuan itu dapat ditentukan kemana arah suatu kegiatan. Ibarat orang berjalan, maka ada sesuatu tempat yang akan dituju. Sehingga orang itu tidak mengalami kebingungungan dalam berjalan, andaikata kebingungan pun sudah jelas kemana ia akan sampai. Serupa dengan hal itu, tak ubahnya dalam dunia pendidikan, apakah pendidikan Islam maupun non Islam. Maka sudah dapat dipastikan akan memiliki suatu tujuan.
Tujuan, menurut Zakiah Darajat adalah sesuatu yang diharapkan tercapai setelah suatu usaha atau kegiatan selesai. Sementara itu, Arifin mengemukakan bahwa tujuan itu bisa jadi menunjukkan kepada futuritas (masa depan) yang terletak suatu jarak tertentu yang tidak dapat dicapai kecuali dengan usaha melalui proses tertentu. Meskipun banyak pendapat tentang pengertian tujuan, akan tetapi pada umumnya pengertian itu berpusat pada usaha atau perbuatan yang dilaksanakan untuk suatu maksud tertentu. Upaya untuk memformulasikan suatu bentuk tujuan, tidak terlepas dari pandangan masyarakat dan nilai yang dianut pelaku aktifitas itu. Sehingga tidak mengherankan apabila terdapat perbedaan tujuan yang ingin dicapai oleh masing-masing manusia, baik dalam suatu masyarakat, bangsa maupun negara, karena perbedaan kepentingan yang ingin dicapai.
Dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan Islam, Ahmad Tafsir menyatakan bahwa suatu tujuan harus diambilkan dari pandangan hidup. Jika pandangan hidupnya (philosophy of life) adalah Islam, maka tujuan pendidikan menurutnya haruslah diambil dari ajaran Islam. Azra menyatakan bahwa pendidikan Islam merupakan salah satu aspek saja dari ajaran Islam secara keseluruhan. Karenanya tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam, yaitu untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertaqwa kepada-Nya dan dapat mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia dan akhirat. Dalam konteks sosial-masyarakat, bangsa dan negara –maka pribadi yang bertaqwa ini menjadi rahmatan lil’alamin, baik dalam sekala kecil maupun besar. Tujuan hidup manusia dalam Islam inilah yang dapat disebut juga sebagai tujuan akhir pendidikan Islam (ultimate aims of islamic education).
Selain tujuan umum itu, tentu terdapat pula tujuan khusus yang lebih spesifik menjelaskan apa yang ingin dicapai melalui pendidikan Islam. Tujuan khusus ini lebih praxis sifatnya, sehingga konsep pendidikan Islam jadinya tidak sekedar idealisasi ajaran-ajaran Islam dalam bidang pendidikan. Dengan kerangka tujuan yang lebih praxis itu dapat dirumuskan harapan-harapan yang ingin dicapai dalam tahap-tahap tertentu proses pendidikan, sekaligus dapat dinilai hasil-hasil yang telah dicapai.
Menurut Mohammad ’Athiyah al Abrasy, pendidikan budi pekerti adalah jiwa dari pendidikan Islam dan Islam telah menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam. Mencapai suatu akhlak yang sempurna adalah tujuan sebenarnya sebenarnya dari pendidikan Islam. Definisi ini menggambarkan bahwa manusia yang ideal harus dicapai melalui kegiatan pendidikan adalah manusia yang sempurna akhlaknya. Hal ini sejalan dengan misi kerasulan Nabi Muhammad SAW, yaitu untuk menyempurnakan akhlak yang mulia (لاتمما مكرم الاخلاق)
Sementara itu, Muhammad Quthb, berpendapat bahwa Islam melakukan pendidikan dengan pendekatan yang menyeluruh terhadap wujud manusia, sehingga tidak ada yang tertinggal dan terabaikan sedikit pun, baik segi jasmani maupun rohani, baik kehidupannya secara mental dan segala kegiatannya di bumi ini. Islam memandang manusia secara totalitas, mendekatinya atas dasar apa yang terdapat dalam dirinya, atas dasar fitrah yang diberikan Allah kepadanya, tidak ada sedikit pun yang diabaikan dan tidak memaksa apa pun selain apa yang dijadikannya sesuai dengan fitrahnya. Pendekatan ini menunjukkan bahwa dalam rangka mencapai pendidikan, Islam mengupayakan pembinaan seluruh potensi manusia secara serasi dan seimbang. Dengan terbinanya potensi manusia secara sempurna diharapkan ia dapat melaksanakan fungsi pengabdiannya sebagai khalifa di muka bumi ini.
Selain itu, Ali Ashraf menyatakan bahwa pendidikan bertujuan menimbulkan pertumbuhan yang seimbang dari kepribadian total manusia melalui latihan spiritual, intelek, rasional diri, perasaan dan kepekaan tubuh manusia. Karena itu pendidikan seharusnya menyediakan jalan bagi pertumbuhan manusia dalam segala aspek spiritual, intelektual, imaginatif, fisikal, ilmiah, linguistik, baik secara individual maupun secara kolektif dan memotivasi semua aspek untuk mencapai kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan akhir pendidikan muslim adalah perwujudan penyerahan mutlak kepada Allah, pada tingkat individual, masyarakat dan kemanusiaan pada umumnya. Pemahaman ini terkesan bahwa tujuan utama pendidika Islam tiada lain adalah perwujudan pengabdian secara optimal kepada Allah SWT. Untuk dapat melaksanakan pengabdian tersebut, harus dibina seluruh potensi yang dimilikinya, baik potensi spiritual, intelektual, perasaan, kepekaan dan sebagainya.
Dengan demikian, melihat berbagai tujuan yang telah dikemukakan bahwa tujuan pendidikan Islam tiada lain adalah untuk mewujudkan insan yang berakhlakul karimah yang senantiasa mengabdikan dirinya kepada Allah SWT.
D. Hakikat Manusia Sebagai Subjek Pendidikan (Pendidik dan Peserta Didik)
Kajian tentang manusia sejak zaman dahulu sampai zaman sekarang belum juga berakhir dan tidak akan berakhir. Manusia merupakan makhluk yang sangat unik dengan segala kesempurnaannya. Manusia dapat dikaji dari berbagai sudut pandang, baik secara historis, antropologi, sosiologi dan lain sebagainya. Pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang spesial dari pada makhluk-makhluk ciptaan Allah yang lain. Sebagaimana firman Allah dalam Al Qur'an Surat Al Baqarah, ayat 30:


Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Manusia dalam kajian kali ini lebih difokuskan kepada subjek pendidikan, bahwa dalam dunia pendidikan manusialah yang banyak berperan. Karena dilakukannya pendidikan itu tidak lain diperuntukan bagi manusia, agar tidak timbul kerusakan di bumi ini. Dalam pendidikan bahwa manusia dibagi menjadi dua kelompok, yaitu sebagai pendidik dan peserta didik.
Manusia sebagai pendidik, sebagaimana pemahaman Marimba tentang pendidikan, bahwa salah satu unsur pendidikan adalah adanya pembimbing (pendidik). Pendidik adalah orang yang memikul pertanggunganjawab untuk mendidik. Kita sudah dapat membayangkan bahwa seorang pendidik adalah seorang manusia dewasa yang bertanggungjawab atas hak dan kewajiban pendidikan anak didik, tidak hanya membimbing dan menolong, akan tetapi lebih dari itu dengan segala pertanggunganjawab yang dipikulnya. Sementara itu, Tafsir mengatakan bahwa pendidik dalam Islam ialah siapa saja yang bertanggungjawab terhadap perkembangan anak didik. Dalam Islam, orang yang paling bertanggungjawab tersebut adalah orang tua (ayah dan ibu) anak didik, yang disebabkan oleh 2 faktor, yaitu pertama, karena kodrat, yaitu karena orang tua ditakdirkan menjadi orang tua anaknya, dan karena itu ia ditakdirkan pula bertanggungjawab mendidik anaknya. Kedua, karena kepentingan kedua orang tua, yaitu orang tua berkepentingan terhadap kemajuan perkembangan anaknya, sukses anaknya adalah sukses orang tua juga. Adapun guru yang kita pahami adalah seorang pendidik yang memberikan pelajaran kepada anak didik (murid), berupa mata pelajaran di sekolah. Walaupun demikian, pendidik yang utama terhadap anak didik adalah kedua orang tua.
Pendidik dalam pengertian lain, ada beberapa istilah, seperti ustadz, mu’alim, mu’adib, murabi dan lain sebagainya. Dari istilah-istilah itu pada dasarnya mempunyai makna yang sama, yakni sama-sama pendidik (guru). Pada hakikatnya pendidik dalam Islam adalah orang-orang yang bertanggungjawab terhadap perkembangan peserta didik dengan mengupayakan seluruh potensi anak didik, baik afektif, kognitif dan psikomotor. Senada dengan ini Moh. Fadhil al Jamali menyebutkan bahwa pendidik adalah orang yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang baik sehingga terangkat derajat kemanusiaannya sesuai dengan kemampuan dasar yang dimiliki oleh manusia. Sedangkan menurut al Aziz, bahwa pendidik adalah orang yang bertanggungjawab dalam menginternalisasikan nilai-nilai religious dan berupaya menciptakan individu yang memiliki pola pikir ilmiah dan pribadi yang sempurna. Masing-masing definisi tersebut, mengisyaratkan bahwa peran, tugas dan tanggungjawab sebagai seorang pendidik tidaklah gampang, karena dalam diri anak didik harus terjadi perkembangan baik secara afektif, kognitif maupun psikomotor. Dalam setiap individu terdidik harus terdapat perubahan ke arah yang lebih baik. Jika dalam ajaran Islam anak didik harus mampu menginternalisasikan ajaran-ajaran dalam dirinya, sehingga mampu menjadi pribadi yang bertaqwa dan berakhlakul karimah yang akan bahagia baik di dunia dan di akhirat.
Sedangkan anak didik (peserta didik) adalah makhluk yang sedang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing. Mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju ke arah titik optimal kemampuan fitrahnya. Pengertian tersebut berbeda apabila anak didik (peserta didik) sudah bukan lagi anak-anak, maka usaha untuk menumbuhkembangkannya sesuai kebutuhan peserta didik, tentu saja hal ini tidak bisa diperlakukan sebagaimana perlakuan pendidik kepada peserta didik (anak didik) yang masih anak-anak. Maka dalam hal ini dibutuhkan pendidik yang benar-benar dewasa dalam sikap maupun kemampuannya.
Dalam pandangan modern, anak didik tidak hanya dianggap sebagai obyek atau sasaran pendidikan, melainkan juga harus diperlakukan sebagai subyek pendidikan, dengan cara melibatkan mereka dalam memecahkan masalah dalam proses belajar mengajar.
Dengan demikian bahwa peserta didik adalah orang yang memerlukan pengetahuan, ilmu, bimbingan dan pengarahan. Islam berpandangan bahwa hakikat ilmu berasal dari Allah, sedangkan proses memperolehnya dilakukan melalui belajar kepada guru. Karena ilmu itu berasal dari Allah, maka membawa konsekuensi perlunya seorang peserta didik mendekatkan diri kepada Allah atau menghiasi diri dengan akhlak yang mulai yang disukai Allah, dan sedapat mungkin menjauhi perbuatan yang tidak disukai Allah. Bertolak dari hal itu, sehingga muncul suatu aturan normatif tentang perlunya kesucian jiwa sebagai seorang yang menuntut ilmu, karena ia sedang mengharapkan ilmu yang merupakan anugerah Allah. Ini menunjukkan pentingnya akhlak dalam proses pendidikan, di samping pendidikan sendiri adalah upaya untuk membina manusia agar menjadi manusia yang berakhlakul karimah dan bermanfaat bagi seluruh alam.
E. Hakikat Kurikulum Pendidikan Islam
Kurikulum merupakan salah satu komponen yang sangat menentukan dalam suatu sistem pendidikan, karena kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan dan sekaligus sebagai pedoman dalam pelaksanaan pengajaran pada semua jenis dan tingkat pendidikan.
Tujuan pendidikan di suatu bangsa atau negara ditentukan oleh falsafah dan pandangan hidup bangsa atau negara tersebut. Berbedanya falsafah dan pandangan hidup suatu bangsa atau negera menyebabkan berbeda pula tujuan yang hendak dicapai dalam pendidikan tersebut. Begitu pula perubahan politik pemerintahan suatu negara mempengaruhi pula bidang pendidikan, yang sering membawa akibat terjadinya perubahan kurikulum yang berlaku. Oleh karena itu, kurikulum bersifat dinamis guna lebih menyesuaikan dengan berbagai perkembangan yang terjadi.
Kurikulum secara harfiah berasal dari kata curriculum yang berarti bahan pengajaran. Ada pula yang mengatakan berasal dari bahasa Perancis courier yang berarti berlari. Kata kurikulum selanjutnya menjadi suatu istilah yang digunakan untuk menunjukkan kepada sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh untuk mencapai suatu gelar atau ijazah. Pengertian ini sejalan dengan Crow and Crow, bahwa kurikulum adalah rancangan pengajaran yang isinya sejumlah mata pelajaran yang disusun secara sistematis yang diperlukan sebagai syarat untuk menyelesaikan suatu program pendidikan tertentu. Selain itu, ada pula yang berpendapat bahwa kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang disiapkan berdasarkan rancangan yang sistematis dan koordinatif dalam rangka mencapai suatu tujuan pendidikan yang ditetapkan. Dari beberapa definisi tersebut, bahwa kurikulum pada hakikatnya adalah rancangan mata pelajaran bagi suatu kegiatan jenjang pendidikan tertentu dan dengan menguasainya seseorang dapat dinyatakan lulus dan berhak memperoleh ijazah.
Sementara itu, kurikulum dalam pendidikan Islam, yaitu kata manhaj, yang bermakna jalan yang terang, atau jalan terang yang dilalui oleh manusia pada bidang kehidupannya. Jadi, kurikulum yang dimaksud adalah jalan terang yang dilalui oleh pendidik atau guru latih dengan orang yang dididik atau dilatihnya untuk mengembangkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap mereka. Keberadaan kurikulum dalam pendidikan Islam sebagai alat untuk mendidik generasi muda dengan baik dan menolong mereka untuk membuka dan mengembangkan kesediaan-kesediaan, bakat-bakat, kekuatan-kekuatan, dan ketrampilan mereka yang bermacam-macam dan menyiapkan mereka dengan baik untuk menjalankan hak-hak dan kewajiban, memikul tanggungjawab terhadap diri, keluarga, masyarakat, bangsanya dan turut serta secara aktif untuk kemajuan masyarakat dan bangsanya. Dengan demikian, kurikulum hanya sebatas sarana untuk mendidik generasi muda dengan segala potensi yang dimilikinya sehingga mampu memikul tanggungjawab bagi dirinya, keluarga, masyarakat maupun bangsanya.
Ahmad Tafsir, merinci kurikulum dalam beberapa komponen, yaitu tujuan, isi, metode atau proses belajar mengajar dan evaluasi. Setiap komponen dalam kurikulum sebenarnya saling berkaitan bahkan masing-masing merupakan bagian integral dari kulum tersebut. Komponen tujuan mengarahkan atau menunjukkan suatu yang hendak dituju dalam proses belajar mengajar. Dalam operasinya tujuan ini dibagi menjadi bagian-bagian yang kecil. Bagian-bagian itu dicapai hari demi hari dalam proses belajar mengajar, yang dirumuskan dalam rencana pengajaran (lesson plan), disebut juga persiapan mengajar. Kemudian komponen isi menunjukkan materi proses belajar mengajar tersebut. Materi (isi) ini harus relevan dengan tujuan pengajaran yang telah dirumuskan. Relevansi antara tujuan yang dingin dicapai dan isi proses belajar mengajar tidak gampang dalam operasionalnya. Karena untuk merelevansikan diperlukan pakar yang benar-benar ahli dalam merencanakan isi proses tersebut. Komponen berikutnya adalah proses belajar mengajar, mempertimbangkan kegiatan anak dan guru dalam proses belajar mengajar, yakni dengan tidak membiarkan anak belajar sendirian, karena hasil belajarnya kurang maksimal. Karena itu para ahli menyebutnya dengan proses belajar mengajar sebab memang terdapat gabungan antara anak didik belajar dan guru mengajar yang tidak dapat dipisahkan. Komponen berikutnya evaluasi yakni kegiatan kurikuler berupa penilaian untuk mengetahui berapa persen suatu tujuan dapat dicapai. Maka ada ilmu khusus yang mempelajari tentang ini, yaitu teknik evaluasi. Dari hasil evaluasi ini biasanya dinyatakan dengan angka-angka yang dicapai siswa.
Dari uraian tersebut di atas, jelas bahwa kurikulum mempunyai peran penting dalam upaya untuk mencapai tujuan pendidikan. Apalagi ini tujuan pendidikan Islam yang begitu kompleks, seorang anak didik tidak hanya memiliki kemampuan secara afektif, kognitif maupun psikomotor, tetapi dalam dirinya harus tertanam sikap dan pribadi yang berakhlakul karimah.
F. Kesimpulan
Pendidikan merupakan salah satu bentuk upaya untuk melakukan perubahan, maka penting rasanya untuk memahami ontologi pendidikannya, apalagi ini pendidikan Islam. Islam sebagai suatu agama dan ajaran mempunyai peran penting dalam menentukan arah kebijakan pendidikan dengan segala komponen yang melingkupinya, baik itu makna pendidikan itu sendiri, obyek manusianya, tujuan maupun kurikulumnya. Sehingga dari ini dapat dijadikan tolok ukur keberhasilan yang diinginkan dalam suatu proses pendidikan.
Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang berlandaskan atas dasar-dasar ajaran Islam, yakni Al Qur'an dan Hadits sebagai pedoman hidup bagi seluruh umat Islam. Dalam Al Qur'an dan Hadits telah jelas bahwa keberadaan manusia dimuka bumi adalah sebagai khalifah yang mengemban peran penting dalam mengelola bumi dan segala isinya demi kemaslahatan umat. Dan dengan pendidikan diharapkan manusia tidak melakukan hal-hal yang menyebabkan kerusakan di muka bumi ini.
Salah satu sarana yang dibutuhkan dalam melaksanakan pendidikan itu adalah dengan keberadaan kurikulum yang jelas. Sehingga, materi apa yang akan disampaikan dan tujuan apa yang ingin dicapai dalam proses belajar mengajar tersebut dapat diarahkan dan hasil yang diinginkan dapat diukur (dievaluasi). Kemudian nantinya dapat dilakukan perbaikan yang akan mengarah kepada kesempurnaan.

0 komentar

Pengertian Penelitian, Metode Penelitian Dan Berfikir Ilmiah oleh Stit At-Taqwa pada 18 Januari 2011 jam 11:21

21.33 | Publish by Kang Wan Setiawan

Pengertian Penelitian, Metode Penelitian Dan Berfikir Ilmiah


BAB I
PENDAHULUAN
Pengetahuan tentang metode penelitian semakin dirasakan manfaatnya dan telah menjadi perangkat yang penting bagi mahasiswa putra dan putri yang sedang mengikuti kuliah di perguruan tinggi. Dalam makalah ini memuat tentang pengertian dari penelitian, metode penelitian dan berfikir ilmiah. Makalah ini disusun guna menambah wawasan bagi para penbaca mahasiswa khususnya mengenai pengertian dari penelitian, metode penelitian dan berfikir ilmiah.

BAB II
PENGERTIAN PENELITIAN, METODE PENELITIAN
DAN BERFIKIR ILMIAH

A. Pengertian Penelitian
Secara etimologi, penelitian berasal dari bahasa Inggris research (re berarti kembali dan search berarti mencari). Dengan demikian research berarti mencari kembali.
Penelitian adalah merupakan proses ilmiah yang mencakup sifat formal dan intensif. Karakter formal dan intensif karena merekaterkait dengan aturan, urutan, maupun cara pnyajiannya agar memperileh hasil yang diakui dan bermanfaat bagi kehidupan manusia. Intensif dengan menerapkan ketelitian dan ketepatan dalam melakukan proses penelitian agar memperoleh hasil yang dapat diper-tanggungjawabkan, memecahkan problem melalui hubungan sebab dan akibat, dapat diulang kembali dengan cara yang sama dan hasil yang sama.
Penelitian adalah suatu penyelidikan atau suatu usaha pegujian yang dilakukan secara teliti dan kritis dalam mencari fakta-fakta atau prinsip-prinsip dengan menggunakan langkah-langkah tertentu. Dalam mencari fakta-fakta ini diperlukan usaha yang sistematis untuk menemukan jawaban ilmiah terhadap sustu masalah.
Beberapa pakar lain memberikan definisi penelitian sebagai berikut:
1. David H Penny
Penelitian adalah pemikiran yang sistematis mengenai berbagai jenis masalah yang pemecahannya memerlukan pengumpulan dan penafsiran fakta-fakta.
2. Suprapto
Penelitian adalah penyelidikan dari suatu bidang ilmu pengetahuan yang dijalankan fakta –fakta atau prinsip-prisip dengan sabar, hati-hati, serta sistematis.
3. Sutrisno Hadi
Sesuai dengan tujuannya, penelitian dapat diartikan sebagai usaha untuk menemukan, mengembaggkan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan.
4. Mohammad Ali
Penelitian adalah suatu cara untuk memahami sesuatu melalui penyelidikan atau asaha mencari bukti-bukti yang muncul sehubungan dengan masalah itu, yang dilakukan secara hati-hati sekali sehingga diperoleh pemecahannya.
Penelitian adalah pencarian atas sesuatu (inquiry) secara sistematis dengan penekanan bahwa pencarian ini dilakukan terhadap masalah-maslah yang dapat dipecahkan. (Parsons, 1946)
Penelitian merupakan sebuah metode untuk menemukan kebenaran yang juga merupakn sebuah pemikiran kritis (critical thinking). Penelitian meliputi pemberian definisi redefinisi terhadap masalah, mempormulasikan hipotesis atau jawaban sementara, membuat kesimpulan dan sekurang-kurangnya mengadakan pengujian yang hati-hati atas semuakesimpulan untuk menentukan apakah ia cocok dengan hipotesis. (Woody, 1927)
Menurut kamus Websterâ New Internasional, penelitian adalah penyelidikan yang hati-hati dan kritis dalam mencari fakta dan prinsip-prinsip; suatu penyelidikan yang amat cerdik untuk menetapkan sesuatu. Hillway dalam bukunya Introduction to research mengemuka-kan bahwa penelitian adalah suatu metode belajar yang dilakukan seseorang melalui penyelidikan yang hati-hati dan sempurna terhadap suatu masalah sehingga diperoleh pemecahan yang tepat terhadap masalah tersebut.(Hillway,1956).
Kadang-kadang orang menyamakan pengertian penelitian dengan metode ilmiah. Sesuai dengan tujuannya, penelitian dapat diartikan sebagai usaha untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan dimana usaha-usaha itu dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah. Kegiatan penelitian adalah suatu kegiatan objektif dalam usaha mengembangkan, serta menguji ilmu pengetahuan berdasarkan atas prinsip-prinsip, teori-teori yang disusun secara sistematis melalui proses yang intensif dalam pengembangan generalisasi. Sedangkan metode ilmiah lebih mementingkan aplikasi berpikir deduktif-induktif di dalam memecahkan suatu masalah.
Penelitian dapat pula diartikan sebagai cara pengamatan atau inkuiri dan mempunyai tujuan untuk mencari jawaban permasalahan atau proses penemuan, baik itu discovery maupun invention. Discovery diartikan hasil temuan yang memang sebetulnya sudah ada, sebagai contoh misalnya penemuan Benua Amerika adalah peneemuan yang cocok untuk arti discovery. Sedangkan invention dapat diartikan sebagai penemuan hasil penelitian yang betul-betul baru dengan dukungan fakta. Misalnya hasil kloning dari hewan yang sudah mati dan dinyatakan punah, kemudian diteliti untuk menemukan jenis yang baru.
Dari beberapa pendapat tersebut jelas kiranya bahwa setiap orang pada prinsipnya akan memberikan pengertian tentang penelitian berbeda-beda. Perbedaan tersebut biasanya tergantung dengan beberapa faktor seperti diantaranya: latar belakang pengetahuan seseorang, dan pengalaman yang dimiliki seseorang tersebut.
Dapat disimpulkan bahwa penelitian tidak lain adalah usaha seseorang yang dilakukan secara sistematis mengikuti aturan-aturan metodologi misalnya observasi secara sistematis, dikontrol, dan mendasarkan pada teori yang ada dan diperkuat dengan gejala yang ada.


B. Pengertian Metode Penelitian
Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan informasi dengan tujuan dan kegunaan tertentu.
Cara ilmiah didasarkan pada ciri-ciri keilmuan:
• Rasional
• Empiris
• Sistematis

C. Pengertian Berfikir Ilmiah
Berfikir ilmiah adalah berfikir yang logis dan empiris. Logis: masuk akal, empiris: Dibahas secara mendalam berdasarkan fakta yang dapat dipertanggung jawabkan.
Untuk melakukan kegiatan ilmiah secara baik diperlukan sarana beerpikir. Tersedianya sarana tersebut memungkinkan dilakukannya penelaahan ilmiah secara teratur dan cermat. Penguasaan sarana berpikir ilmiah ini merupakan suatu hal yang bersifat imperatif bagi seorang ilmuwan. Tanpa mengua- sai hal ini maka kegiatan ilmiah yang baik tak dapat dilakukan.
Sarana ilmiah pad adasarnya merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuhnya. Pada langkah tertentu biasanya diperlukan sarana yang tertentu pula. Oleh sebab itulah sebelum kita mempelajari sarana fundamental berpikir ilmiah ini seyogyanya kita telah menguasai langkah-langkah dalam kegiatan ilmiah tersebut. Dengan jalan ini maka kita akan sampai pada hakikat sarana yang sebenarnya, sebab sarana merupakan alat yang membantu kita dalam mencapai suatu tujuan tertentu, atau dengan kata lain, sarana ilmiah mempunyai fungsi-fungsi yang khas dalam kaitannya dengan kegiatan ilmiah secara menyeluruh.
Sarana berpikir ilmiah merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuh. Pada langkah tertentu biasanya juga diperlukan sarana tertentu pula. Tanpa penguasaan sarana berpikir ilmiah kita tidak akan dapat melaksanakan kegiatan berpikir ilmiah yang baik. Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik diperlukan sarana berpikir ilmiah berupa: “[1] Bahasa Ilmiah, [2] Logika metematika, [3] Logika statistika. Bahasa ilmiah merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah. Bahasa merupakan alat berpikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran seluruh proses berpikir ilmiah kepada orang lain. Logika matematika mempunyai peran penting dalam berpikir deduktif sehingga mudah diikuti dan dilacak kembali kebenarannya Sedangkan logika statistika mempunyai peran penting dalam berpikir induktif mencari konsep- konsep yang berlaku umum”.
Kemampuan berpikir ilmiah yang baik sangat didukung oleh penguasaan sarana berpikir dengan baik pula. Maka dalam proses berpikir ilmiah diharuskan untuk mengetahui dengan benar peranan masing-masing sarana berpikir tersebut dalam keseluruhan proses berpikir ilmiah. Berpikir ilmiah menyadarkan diri kepada proses metode ilmiah baik logika deduktif maupun logika induktif. Ilmu dilihat dari segi pola pikirnya merupakan gabungan antara berpikir deduktif dan induktif.

BAB III
KESIMPULAN
Penelitian tidak lain adalah usaha seseorang yang dilakukan secara sistematis mengikuti aturan-aturan metodologi misalnya observasi secara sistematis, dikontrol, dan mendasarkan pada teori yang ada dan diperkuat dengan gejala yang ada.
Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan informasi dengan tujuan dan kegunaan tertentu
Berfikir ilmiah adalah berfikir yang logis dan empiris. Logis: masuk akal, empiris: Dibahas secara mendalam berdasarkan fakta yang dapat dipertanggung jawabkan.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2003. Manajemen Penelitian. Jakarta: PT Rineka Cipta
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian. Jakarta: PT Rineka Cipta
Nazir, Moh. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia
Sukardi. 2007. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara

0 komentar

PENGERTIAN MAKKIYAH & MADANIYAH DAN PERKARA BERKAITAN DENGANNYA oleh Stit At-Taqwa pada 24 Januari 2011 jam 0:54

21.27 | Publish by Kang Wan Setiawan

PENGERTIAN MAKKIYAH & MADANIYAH DAN PERKARA BERKAITAN DENGANNYA
PENGERTIAN MAKKIYAH & MADANIYAH DAN PERKARA BERKAITAN DENGANNYA

Cara menentukan Makki dan Madani :

Untuk mengetahui dan menentukan makki dan madani para ulama bersandar pada dua cara utama .Manhaj sima`i naqli ( metode pendengaran seperti apa adanya ) dan Manhaj qiyasi ijtihadi ( menganalogikan dan ijtihad ).

1.Cara sima'i naqli : didasarkan pada riwayat sahih dari para sahabat yang hidup pada saat dan menyaksikan turunnya wahyu atau dari para tabi`in yag menerima dan mendengar dari para sahabat sebagaiamana, dimana dan peristiwa apa yang berkaitan dengan turunnya wahyu itu. Sebagian besar penentuan makki dan madani itu didasarkan pada cara pertama.
Dan contoh-contoh diatas adalah bukti paling baik baginya.
Penjelasan tentang penentuan tersebut telah memenuhi kitab-kitab tafsir bil ma`tsur. Kitab asbabun Nuzul dan pembahasan-pembahasan mengenai ilmu-ilmu Qur`an.
2. Cara qiysi ijtihadi : didasarkan pada ciri-ciri makki dan madani. Apabila dalam surah makki terdapat suatu ayat yang mengandung ayat madani atau mengandung persitiwa madani, maka dikatakan bahwa ayat itu madani dan sebaliknya. Bila dalam satu surah terdapat ciri-ciri makki, maka surah itu dinamakan surah makki. Juga sebaliknya. Inilah yang disebut qiyas ijtihadi.

Perbezaan Makki dan Madani

Untuk membezakan makki dan madani, para ulama mempunyai tiga cara pandangan yang masing-masing mempunyai dasarnya sendiri.

1) Pertama: Dari segi waktu turunnya. Makki adalah yang diturunkan sebelum hijrah meskipun bukan dimekkah. Madani adalah yang turun sesudah hijrah meskipun bukan di madinah yang diturunkan sesudah hijrah sekalipun dimekkah atau Arafah adalah madani Contoh : ayat yang diturunkan pada tahun penaklukan kota makkah , firman Allah:



`Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak…` ( an-Nisa` : 58 ). Ayat ini diturunkan di mekkah dalam ka`bah pada tahun penaklukan mekkah. Pendapat ini lebih baik dari kedua pendapat berikut. Karena ia lebih memberikan kepastian dan konsisten.

2) Kedua : Dari segi tempat turunnya. Makki adalah yang turun di mekkah dan sekitarnya. Seperti Mina, Arafah dan Hudaibiyah. Dan Madani ialah yang turun di madinah dan sekitarnya. Seperti Uhud, Quba` dan Sil`. Pendapat ini mengakibatkn tidak adanya pembagian secara konkrit yang mendua. Sebab yang turun dalam perjalanan, di Tabukh atau di Baitul Maqdis tidak termasuk kedalam salah satu bagiannya, sehingga ia tidak dinamakan makki ataupun madani. Juga mengakibatkan bahwa yang diturunkan dimakkah sesudah hijrah disebut makki.

3) Ketiga : Dari segi sasaran pembicaraan. Makki adalah yang seruannya ditujukan kepada penduduk mekkah dan madani ditujukan kepada penduduk madinah. Berdasarkan pendapat ini, para pendukungnya menyatakan bahwa ayat Qur`an yang mengandung seruan yaa ayyuhannas ( wahai manusia ) adalah makki, sedang ayat yang mengandung seruan yaa ayyu halladziina aamanuu ( wahai orang-orang yang beriman ) adalah madani. Namun melalui pengamatan cermat, nampak bagi kita bahwa kebanyakan surah Qur`an tidak selalu dibuka dengan salah satu seruan itu, dan ketentuan demikianpun tidak konsisten. Misalnya surah baqarah itu madani, tetapi didalamnya terdapat ayat makki.

3. KETENTUAN & CIRI-CIRI KHAS MAKKI DAN MADANI

Para ulama telah meneliti surah-surah makki dan madani, menyimpulkan beberapa ketentuan analogis bagi keduanya yang menerangkan ciri-ciri khas gaya bahasa dan persoalan-persoalan yang dibicarakannya. Dari situ mereka dapat menghasilkan kaedah-kaedah dengan ciri-ciri tersebut.

1) Ketentuan Surah Makkiyah .
a) Setiap surah yang didalamnya mengandung `sajdah` maka surah itu makki.
b) Setiap surah yang mengandung lafaz ` kalla` berarti makki. Lafaz ini hanya terdapat dalam separuh terakhir dari Qur`an dan di sebutkan sebanyak tiga puluh tiga kali dalam lima belas surah.
c) Setiap surah yang mengandung yaa ayyuhan naas dan tidak mengandung yaa ayyuhal ladzinaa amanuu, berarti makki. Kecuali surah al-Hajj yang pada akhir surah terdapat ayat yaa ayyuhal ladziina amanuur ka`u wasjudu. Namaun demikian sebagian besar ulama berpendapat bahwa ayat tersebut adalah makki.
d) Setiap surah yang menngandung kisah para nabi umat terdahulu adalah makki, kecuali surah baqarah.
e) Setiap surah yang mengandung kisah Adam dan iblis adalah makki, kecuali surat baqarah.
f) setiap surah yang dibuka dengan huruf-huruf singkatan seperti alif lam mim, alif lam ra, ha mim dll, adalah makki. Kecuali surah baqarah dan ali-imran, sedang surah Ra`ad masih diperselisihkan.


2) Tema & Gaya Bahasa Surah Makkiyah

Dari segi ciri tema dan gaya bahasa, ayat makky dapatlah diringkas sebagai berikut :

a) Ajakan kepada tauhid dan beribadah hanya kepada Allah, pembuktian mengenai risalah, kebangkitan dan hari pembalasan, hari kiamat dan kengeriannya, neraka dan siksanya, surga dan nikmatnya, argumentasi dengan orang musyrik dengan menggunkan bukti-bukti rasional dan ayat-ayat kauniah.
b) Peletakan dasar-dasar umum bagi perundang-undangan dan ahlak mulia yang menjadi dasar terbentuknya suatu masyarakat, dan penyingkapan dosa orang musyrik dalam penumpahan darah, memakan harta anak yatim secara zalim. Penguburan hidup-hidup bayi perempuan dan tradisi buruk lainnya.
c) Menyebutkan kisah para nabi dan umat-umat terdahulu sebagai pelaran bagi mereka sehingga megetahui nasib orang yang mendustakan sebelum mereka, dan sebagai hiburan buat Rasulullah SAW sehingga ia tabah dalam mengadapi gangguan dari mereka dan yakin akan menang.
d) Suku katanya pendek-pendek disertai kata-kata yang mengesankan sekali, pernyataannya singkat, ditelinga terasa menembus dan terdengar sangat keras. Menggetarkan hati, dan maknanya pun meyakinkan dengan diperkuat lafal-lafal sumpah, seperti surah-surah yang pendek-pendek dan perkecualiannya hanya sedikit.

3) Ketentuan Surah Madani

a) Setiap surah yang berisi kewajiban atai had ( sanksi ) adalah madani.
b) Setiap surah yang didalamnya disebutkan orang-orang munafik adalah madani, kecuali surah al-ankabut adalah makki.
c) Setiap surah yang didalamnya terdapat dialog dengan ahli kitab adalah madani

4) Tema dan Gaya Bahasa surat Madaniyah

Dari segi ciri khas, tema dan gaya bahasa, dapatlah diringkaskan sebagai berikut :

a) Menjelaskan ibadah, muamalah, had, kekeluargaan, warisan, jihad, hubungan sosial, hubungan internasiaonal baik diwaktu damai maupun perang, kaidah hukum dan masalah perundang-undangan.
b) Seruan terhadap ahli kitab, dari kalangan yahudi dn nasrani. Dan ajakan kepada mereka untuk masuk Islam, penjelasan mengenai penyimpangan mereka, terhadap kitab-kitab Allah, permusuhan mereka terhadap kebenaran, dan perselisihan mereka setelah ilmu datang kepada mereka karena rasa dengki diantara sesama mereka.
c) Menyingkap perilaku orang munafik, menganalisi kejiwaannya, membuka kedoknya dan menjelaskan bahwa ia berbahaya bagi agama.
d) Suku kata dan ayat-ayatnya panjang-panjang dan dengan gaya bahasa yang memantapkan syariat serta menjelaskan tujuan dan sasarannya.

Surah- surah makiyah dan madaniah yang sah ada 20 surah :
1. Al-Baqarah
2. Ali 'Imran
3. An-Nisa'
4. Al-Ma'idah
5. Al-Anfal
6. At-Taubah
7. An-Nur
8. Al –Ahzab
9. Muhammad
10. Al-Fath
11. Al- Hujrat
12. Al-Hadid
13. Al-Mujadilah
14. Al-Hashr
15. Al-Mumtahinah
16. Al-Jumuah
17. Al-Munafiqun
18. Al-Talaq
19. At-Tahrim
20. An-Nasr

Dan ada perbezaan pendapat pada 12 surah tersebut:
1. Al-Fatihah
2. Al-Rad
3. Al-Rahman
4. Al-saff
5. Al-Tagabun
6. Al-Mutaffifin
7. Al-Qadar
8. Al-Bayyinah
9. Al-Zalzalah
10. Al-Ikhlas
11. Al-Falaq
12. Al-Nas

Nama-nama surat makkiyah berdasarkan urutan turunnya (menurut sebagian besar Ulama).

01. Al'Alaq
02. Al-Qalam
03. Al-Muzammil
04. Al-Muddatstsir
05. Al-Fatihah
06. Al-Masab (Al-Lahab)
07. At-Takwir
08. Al-A'la
09. Al-Lail
10. Al-Fajr
11. Adh-Dhuha
12. Alam Nasyrah (Al-Insyirah)
13. Al-'Ashr
14. Al-Aadiyat
15. Al-Kautsar
16. At-Takatsur
17. Al-Ma'un
18. Al-Kafirun
19. Al-Fiil
20. Al-Falaq
21. An-Nas
22. Al-Ikhlas
23. An-Najm
24. 'Abasa
25. Al-Qadar
26. Asy-Syamsu
27. Al-Buruj
28. At-Tin
29. Al-Quraisy
30. Al-Qariah
31. Al-Qiyamah
32. Al-Humazah
33. Al-Mursalah
34. Qaf
35. Al-Balad
36. Ath-Thariq
37. Al-Qamar
38. Shad
39. Al-A'raf
40. Al-Jin
41. Yaasin
42. Al-Furqan
43. Fathir
44. Maryam
45. Thaha
46. Al-Waqi'ah 47. Asy-Syura
48. An-Naml
49. Al-Qashash
50. Al-Isra
51. Yunus
52. Hud 53. Yusuf
54. Al-Hijr
55. Al-An'am
56. Ash-Shaffat
57. Lukman
58. Saba'
59. Az-Zumar
60. Ghafir
61. Fushshilat
62. Asy-Syura
63. Az-Zukhruf
64. Ad-Dukhan
65. Al-Jatsiyah
66. Al-Ahqqaf
67. Adz-Dzariyah
68. Al-Ghasyiyah
69. Al-Kahf
70. An-Nahl
71. Nuh
72. Ibrahim
73. Al-Anbiya
74. Al-Mu'minun
75. As-Sajdah
76. Ath-Thur
77. Al-Mulk
78. Al-Haqqah
79. Al-Ma'arij
80. An-Naba'
81. An-Nazi'at
82. Al-Infithar
83. Al-Insyiqaq
84. Ar-Rum
85. Al-Ankabut
86. Al-Muthaffifin
87. Al-Zalzalah
88. Ar-Rad
89. Ar-Rahman
90. Al-Insan
91. Al-Bayyinah
Turunnya surah-surah Makiyyah lamanya 12 tahun, 5 bulan, 13 hari, dimulai pada 17 Ramadhan 40 tahun usia Nabi (Februari 610 M).
Nama-nama surat madaniyah berdasarkan urutan turunnya (menurut sebagian besar Ulama).
01. Al-Baqarah
02. Al-Anfal
03. Ali 'Imran
04. Al-Ahzab
05. Al-Mumtahanah
06. An-Nisa'
07. Al-Hadid
08. Al-Qital
09. Ath-Thalaq
10. Al-Hasyir
11. An-Nur
12. Al-Hajj
13. Al-Munafiqun
14. Al-Mujadalah
15. Al-Hujurat
16. At-Tahrim
17. At-Taghabun
18. Ash-Shaf
19. Al-Jum'at
20. Al-Fath
21. Al-Ma'idah
22. At-Taubah
23. An-Nash


4. FAEDAH MENGETAHUI MAKKI DAN MADANI

Pengetahuan tentang makkiyah dan madani banyak faedahnya diantaranya:

Pertama : Untuk dijadikan alat bantu dalam menafsirkan Qur`an, Sebab pengetahuan mengenai tempat turun ayat dapat membantu memahami ayat tersebut dan mentafsirkannya dengan tafsiran yang benar. Sekalipun yang menjadi pegangan adalah pengertian umum lafadz, bukan sebab yang khusus. Berdasarkan hal itu seorang penafsir dapat membedakan antara ayat yang nasikh dengan yang mansukh, bila diantara kedua ayat terdapat makna yang kontradiktif. Yang datang kemudian tentu merupakan nasikh yang tedahulu.

Kedua : Meresapi gaya bahasa Quran dan memanfaatkannya dalam metode dakwah menuju jalan Allah. Sebab setiap situasi mempunyai bahasa tersendiri. Memperhatikan apa yang dikehendaki oleh situasi merupakan arti peling khusus dlam retorika. Karakteristik gaya bahasa makki dan madani dalam Quran pun memberikan kepada orang yang mempelajarinya sebuah metode dalam penyampaian dakwah ke jalan Allah yang sesuai dengan kejiwaan lawan berbicara dan menguasai pikiran dan perasaaannya serta menguasai apa yang ada dalam dirinya dengan penuh kebijaksanaan.

Ketiga : Mengetahui sejarah hidup Nabi melalui ayat-ayat Qur`an. Sebab turunnya wahyu kepada Rasulullah SAW sejalan dengan sejarah dakwah dengan segala peristiwanya, baik dalam periode mekkah maupun madinah. Sejak permulaan turun wahyu hingga ayat terakhir diturunkan. Qur`an adalah sumber pokok bagi peri hidup Rasulullah SAW, peri hidup beliau yang diriwayatka ahlli sejarah harus sesuai denga Quran; dan Qur`an pun memberikan kata putus terhadapa perbedaan riwayat yang mereka riwayatkan.

0 komentar

PENURUNAN AL-QURAN (NUZUL AL-QURAN) oleh Stit At-Taqwa pada 24 Januari 2011 jam 1:01

21.24 | Publish by Kang Wan Setiawan

PENURUNAN AL-QURAN (NUZUL AL-QURAN)
Penurunan Al-Quran (Nuzul Al-Quran)

PENGENALAN
Allah SWT telah menurunkan al-Quran sebagai satu mukjizat yang membuktikan kerasulan Nabi Muhammad s.a.w. dan kewujudan Allah SWT dengan segala sifat-sifat kesempurnaannya. Membaca al-Quran serta menghayati dan mengamalkannya adalah satu ibadat. Ia merupakan satu kitab panduan hidup manusia dan rujukan utama di samping sunnah Rasulullah. Al-Quran dinukilkan kepada kita secara mutawatir, pasti dan qat’i dan ditulis mashaf yang hari ini lebih dikenali sebagai mashaf ‘Uthmani. Adalah wajar bagi kita umat Islam mengkaji sejarah al-Quran dan perkara yang berkaitan dengannya. Penulisan ini akan mengemukakan satu perbincangan mengenai penurunan al-Quran (Nuzul al-Quran) salah satu aspek daripada pengajian ‘Ulum al-Quran’. Ilmu berkaitan Nuzul akan membicarakan mengenai cara-cara wahyu diturunkan, peringkatnya, tempat-tempat turunnya ayat-ayat al-Quran, masanya, awalnya dan akhirnya. Berdasarkan ilmu tersebut, Kita dapat mengetahui ayat-ayat Makkiyah Dan Madaniyyah Dan juga mengetahui asbab al-nuzul.
PENGERTIAN NUZUL AL-QURAN
Daripada segi bahasa, perkataan ‘Nuzul’ bererti menetap di satu tempat atau turun dari tempat yang tinggi. Kata perbuatannya ‘nazala’ (نزل) membawa maksud ‘dia telah turun’ atau ‘dia menjadi tetamu’. Sebenarnya penggunaan istilah Nuzul al-Quran ini secara majaz atau simbolik sahaja yang bermaksud pemberitahuan al-Quran. Tujuannya untuk menunjukkan ketinggian al-Quran.
Secara teknikalnya Nuzul al-Quran bererti penurunan al-Quran dari langit kepada Nabi Allah yang terakhir. Perkataan Nuzul dalam pelbagai wajah sama Ada kata nama, kata perbuatan atau lainnya digunakan dalam al-Quran sebanyak lebih kurang 290 kali. Sebagai contoh, “Dia yang telah…..menurunkan hujan.” (al-Baqarah:22), “Dialah….yang menurunkan Taurat Dan Injil.” (Ali Imran:3) Dan banyak lagi ayat-ayat lain.

CARA AL-QURAN (WAHYU) DITURUNKAN

‘Aishah isteri Rasulullah s.a.w. Meriwayatkan sebelum Nabi Muhammad diangkat menjadi Rasul, beliau bermimpi perkara yang benar lalu beliau menyendiri di gua Hira’ beribadah kepada Allah SWT untuk selama beberapa tahun. Di gua berkenaanlah baginda menerima wahyu yang pertama.
Harith bin Hisham, seorang sahabat Rasulullah s.a.w. pernah bertanya kepada Baginda bagaimana wahyu diturunkan kepadanya. Rasulullah menjawab :
”Kadang-kadang wahyu datang kepada-ku dengan gema (desingan) loceng dan ini amat berat bagi-ku, dan sementara bunyi itu hilang aku mengingati apa yang disampaikan kepada-ku. Kadang ia datang dalam bentuk jelmaan malaikat kepada-ku merupai lelaki, bercakap dengan-ku dan aku menerima apa saja yang disampaikannya kepada-ku.”
PERINGKAT PENURUNAN AL-QURAN
Para ulama menyatakan penurunan al-Quran berlaku dalam dua bentuk iaitu secara sekaligus, dan berperingkat. Walau bagaimanapun mereka berselisih pendapat tentang berapa kali berlakunya penurunan al-Quran secara sekaligus.
Terdapat tiga pandangan mengenai hal ini, iaitu :
• Penurunan al-Quran dari Allah SWT ke al-Lauh al-Mahfuz;
• Kali kedua, dari al-Lauh al-Mahfuz ke Bait al-‘Izzah di langit dunia; dan
• Kali ketiga, penurunan kepada Jibril a.s. dalam tempoh 20 malam.
Al-Suyuti dalam kitabnya ‘al-Itqan if Ulum al-Quran’ berdasarkan tiga riwayat oleh Ibn ‘Abbas, Hakim Dan al-Nasa’i, hanya membahagikan kepada dua peringkat sahaja iaitu dari al-Lauh Mahfuz ke Bait al-‘Izzah Dan dari Bait al-‘Izzah kepada Rasulullah s.a.w. Melalui Jibril a.s.
1. Dari Allah SWT ke al-Lauh al-Mahfuz.
Penurunan ini berlaku sekaligus dengan tujuan untuk membuktikan ketinggian dan kekuasaan Allah SWT. Para Malaikat menyaksikan bahawa segala perkara yang ditentukan oleh Allah SWT di Luh Mahfuz ini benar-benar berlaku. Pendapat ini disandarkan kepada ayat 21 Dan 22 surah al-Buruj yang berbunyi,
بَلْ هُوَ قُرْآنٌ مجيد فِي لَوْحٍ مَحْفُوظ .
“(Sebenarnya apa yang engkau sampaikan kepada mereka bukanlah syair atau sihir), bahkan ialah Al-Quran yang tertinggi kemuliaannya; (Lagi yang terpelihara dengan sebaik-baiknya) pada Luh Mahfuz.” (al-Buruj:21-22)


2. Dari al-Lauh al-Mahfuz ke Bait al-’Izzah di langit dunia.
Penurunan kali kedua secara sekaligus dari al-Lauh al-Mahfuz ke Bait al-’Izzah di langit dunia dipercayai berlaku berpandukan kepada tiga (3) ayat al-Quran sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn ‘Abbas;
Allah SWT berfirman,
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“(Masa yang diwajibkan kamu berpuasa itu ialah) bulan Ramadan yang padanya diturunkan Al-Quran, menjadi petunjuk bagi sekalian manusia Dan menjadi keterangan-keterangan yang menjelaskan petunjuk Dan (menjelaskan) perbezaan antara yang benar dengan yang salah. Oleh itu, sesiapa dari antara kamu yang menyaksikan anak bulan Ramadan (atau mengetahuinya), maka hendaklah dia berpuasa bulan itu Dan sesiapa yang sakit atau dalam musafir maka (bolehlah dia berbuka, kemudian wajiblah dia berpuasa) sebanyak Hari yang ditinggalkan itu pada hari-Hari yang lain. (Dengan ketetapan yang demikian itu) Allah menghendaki kamu beroleh kemudahan dan Dia tidak menghendaki kamu menanggung kesukaran dan juga supaya kamu cukupkan bilangan puasa (sebulan Ramadan) dan supaya kamu membesarkan Allah kerana mendapat petunjuk-Nya dan supaya kamu bersyukur.” (al-Baqarah:185)
Firman Allah SWT,
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Quran itu pada malam yang berkat; (Kami berbuat demikian) kerana sesungguhnya Kami sentiasa memberi peringatan dan amaran (jangan hamba-hamba Kami ditimpa azab).” (ad-Dukhan:3)
Firman Allah SWT,
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan (Al-Quran) ini pada Malam Lailatul-Qadar.” (al-Qadr:1)
Ibn ‘Abbas juga menyatakan mengikut apa yang diriwayatkan oleh Said b. Jubayr: “Al-Quran diturunkan sekaligus pada malam yang penuh berkat.” Ikrimah pula meriwayatkan ‘Abdullah bin ‘Abbas berkata: “Al-Quran diasingkan daripada al-Dhikr ‘الذكر’ dan ditempatkan di Bait al-‘Izzah di langit dunia.
Ibn Marduwayh dan al-Baihaqi mencatatkan perbualan antara ‘Atiyyah bin al-Aswad dan ‘Abdullah bin ‘Abbas yang mana ‘Atiyyah agak keliru mengenai penurunan ayat-ayat ini, “Pada bulan Ramadhan al-Quran diturunkan”, dan “Sesungguhnya Kami telah menurunkan (Al-Quran) ini pada Malam Lailatul-Qadar”, ia juga diturunkan pada bulan Syawwal, Dhu al-Qaedah, Dhu al-Hijjah, al-Muharram, Safar dan Rabi’ al-Awwal.” Kemudian Ibn ‘Abbas menjelaskan: “Al-Quran diturunkan pada malam Lailatul-Qadar sekaligus kemudiannya untuk diwahyukan kepada Rasulullah s.a.w. secara beransur-ansur selama beberapa bulan dan hari.”
3. Dari Bait al-’Izzah kepada Rasulullah s.a.w. (dalam masa 20 malam).
Penurunan di peringkat ini telah berlaku secara beransur-ansur. Al-Quran mula diturunkan kepada Rasulullah s.a.w. sejak baginda dilantik menjadi Rasulullah s.a.w. dan selesai apabila baginda hampir wafat, iaitu dalam tempoh dua puluh tiga tahun. Tiga belas tahun di Makkah dan sepuluh tahun di Madinah al-Munawwarah.
Mengikut pendapat ini, Jibril a.s. diberi Malam Lailatul-Qadar setiap tahun, dari mula turun wahyu hingga ke akhirnya sepanjang tempoh kenabian, sebahagian daripada al-Quran disimpan di Bait al-‘Izzah yang mencukupi baginya untuk disampaikan kepada Rasulullah s.a.w. dalam masa 20 malam. Pandangan ini dipegang kuat oleh al-Mawardi.
Kritikan terhadap Pandangan atau Pendapat di atas
Mengenai pendapat pertama mengenai al-Quran diturunkan sekaligus dari Allah SWT ke al-Lauh Mahfuz tidak disokong oleh bukti yang jelas dan kukuh. Ayat dalam surah al-Buruj yang digunakan sebagai hujah tidak menunjukkan secara tersurat atau tersirat mengenai penurunan sekaligus. Para ulama hanya membuat tafsiran pada ayat ini. Maksud ayat ini menceritakan tentang al-Quran dipelihara daripada sebarang pencemaran. Ayat ini ditujukan kepada musuh-musuh Islam yang cuba menambah, mengurang atau mengubah ayat al-Quran tidak akan dapat berbuat demikian kerana ia akan tetap tulen dan selamat. Tafsiran ini disokong oleh para mufassir seperti Tabari, Baghawi, Razi dan Ibn Kathir.
Pendapat kedua tentang penurunan sekaligus ke Bait al-‘Izzah berpandukan kepada ayat 2, surah al-Baqarah dan ayat 1, surah al-Qadr tidak menyatakan secara jelas mengenai al-Quran diturunkan sekaligus pada malam yang penuh berkat tersebut. Kenyataan al-Quran ini merujuk kepada masa ia diturunkan dan tidak mengenai bagaimana atau cara ia diturunkan. Ulama tabiin yang terkenal ‘Amir al-Sha’abi mengatakan: “Sudah pasti penurunan al-Quran berlaku pada Malam Lailatul-Qadr pada bulan Ramadhan, dan terus turun dalam masa 23 tahun. Tidak ada Nuzul lain melainkan yang diturunkan kepada Rasulullah s.a.w.”


Jumhur bersetuju yang ayat 1-5 daripada surah al-‘Alaq diturunkan di akhir Ramadhan 13 tahun sebelum Hijrah. Ketiga-tiga ayat yang dijadikan hujah di atas, tidak dinafikan, merujuk kepada ayat 1-15 surah al-‘Alaq. Cuma para ulama mentafsirkan ayat 185 surah al-Baqarah sebagai ‘keseluruhan al-Quran’. Para ulama, fuqaha, ahli hadith dan ahli tafsir semuanya bersetuju perkataan al-Quran merujuk kepada sebuah al-Quran atau sebahagian daripadanya. Malah ia dinyatakan dalam surah al-A’raf, ayat 204, Allah SWT berfirman,
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan apabila Al-Quran itu dibacakan, maka dengarlah akan dia serta diamlah (dengan sebulat-bulat ingatan untuk mendengarnya), supaya kamu beroleh rahmat.”
Mengenai riwayat Ibn ‘Abbas, ia merupakan pandangan beliau dan tidak ada dikaitkan dengan sebarang ucapan Rasulullah s.a.w. sebagai satu sumber menyokong pendapatnya. Suatu persoalan timbul mengapa perkara sepenting ini hanya disebut oleh Ibn ‘Abbas sedangkan di kalangan sahabat yang diiktiraf sebagai pakar al-Quran seperti ‘Abdullah Mas’ud, Ubayy bin Ka’ab, Zaid bin Thabit dan Mu’az bin Jabal tidak membicarakan perkara Nuzul al-Quran yang diturun sekaligus ke Bait al-‘Izzah.
Al-Zarqani berpendapat tidak wajar untuk mempersoalkan atau tidak mempercayai Ibn ‘Abbas kerana beliau dikenali sebagai orang yang tidak ada kaitan dengan cerita-cerita israiliyat serta pendiriannya sebagai ‘sahabat’, oleh itu beliau tergolong di bawah ‘Hukm al-Marfu’ iaitu perkara yang ada hubungan dengan Rasulullah s.a.w.
Sebahagian ulama berpendapat penurunan al-Quran hanya sekali sahaja iaitu daripada Allah SWT terus kepada Rasulullah melalui Jibril secara berperingkat dan bukannya tiga kali dari Allah SWT ke al-Lauh al-Mahfuz, ke Bait al-‘Izzah dan kepada Rasulullah. Penulisan ini tidak akan terbabit dalam perbahasan ulama mengenai jumlah penurunan dan juga mengenai riwayat Ibn ‘Abbas bersandarkan kepada Rasulullah atau tidak. Penulis hanya menyampaikan adanya perbezaan pendapat di kalangan ulama mengenai jumlah Nuzul.
HIKMAT AL-QURAN DITURUNKAN BERANSUR-ANSUR
Al-Quran diturunkan sedikit demi sedikit supaya mudah dihafal, difahami dan dilaksanakan. Ia sebagai satu rahmat dan kurniaan yang sangat berkesan kepada hamba-hambaNya.
Sekiranya al-Quran diturunkan sekaligus, sudah tentu ia akan menyusahi dan memberatkan, baik daripada segi hafalan, pemahaman dan pelaksanaannya dalam kehidupan. Al-Khudhari mengatakan tempoh al-Quran diturunkan ialah 22 tahun 22 bulan dan 22 hari, bermula daripada 17hb. Ramadhan tahun 41 kelahiran Rasulullah s.a.w. hinggalah 9hb. Zulhijjah, tahun ke 10 Hijrah. Dalam tempoh tersebut al-Quran dihafal oleh Rasulullah dan para sahabat serta dicatat oleh panitia penulis al-Quran kemudian dikumpulkan pada zaman Sayidina Abu Bakr r.a. dan disempurnakan pada masa Sayidina ‘Uthman r.a.
Antara hikmat utama Allah SWT merencanakan penurunan al-Quran kepada baginda Rasulullah SAW ini secara beransur-ansur adalah seperti berikut :
1. Untuk menetapkan jiwa Rasulullah s.a.w. dan menguatkan hatinya. Ini kerana dengan turunnya Jibril a.s. membawa wahyu secara berulang-ulang daripada Allah SWT kepada Rasul-Nya dapat menguatkan jiwa Rasulullah s.a.w. Baginda dapat merasakan pertolongan serta inayat Ilahi tersebut. Tanggungjawab sebagai Nabi adalah berat dan Rasulullah sebagai seorang manusia yang sudah tentu akan menghadapi pelbagai cabaran getir dalam menyampaikan risalah bukan sahaja menghadapi tekanan, sekatan, cercaan, maki hamun malah ancaman nyawa daripada kaumnya sendiri Quraisy dan juga dari kalangan Yahudi dan orang munafik. Tentulah beliau memerlukan belaian wahyu sebagai penenang kepada semua itu.
2. Untuk mendidik masyarakat waktu itu secara beransur-ansur. Ini akan memudahkan mereka untuk memahami al-Quran dan menghafaznya serta dapat beramal dengannya berdasarkan peristiwa-peristiwa yang berlaku di kalangan mereka. Oleh itu mereka dapat mengikis akidah amalan dan adat yang bertentangan dengan Islam secara beransur-ansur. Oleh itu sedikit demi sedikit ianya dapat dihapuskan.
3. Untuk menyesuaikan dengan peristiwa yang baharu berlaku iaitu apabila timbul sesuatu masalah di kalangan mereka, turunlah al-Quran menentukan hukum yang sesuai untuk menyelesaikan masalah tersebut. Contohnya, ayat mengenai persoalan roh dan seumpamanya.
4. Untuk menunjukkan bahawa sumber al-Quran itu Kalam Allah SWT semata-mata. Ia bukan ciptaan Nabi Muhammad s.a.w. atau makhluk lain.

AYAT PERTAMA DAN AKHIR DITURUNKAN
Ketinggian kedudukan al-Quran dan keagungan ajaran-ajarannya akan dapat merobah kehidupan manusia, menghubungkan langit dengan bumi, dan dunia dengan akhirat. Pengetahuan mengenai sejarah perundangan Islam daripada sumber utama iaitu al-Quran akan menggambarkan kepada kita mengenai pemeringkatan hukum dan penyesuaiannya dengan keadaan tempat hukum itu diturunkan yang memerlukan per¬bahasan mengenai apa yang pertama dan terakhir diturunkan.
1. Yang Pertama Diturunkan

Terdapat empat pendapat mengenai apakah yang mula-mula diturunkan mengenai al-Quran :-
i) Jumhur (Pendapat yang paling rajih atau sahih) bersetuju iaitu yang pertama diturunkan ialah lima ayat pertama daripada surah al-‘Alaq berdasarkan riwayat ‘Aisyah yang dicatatkan oleh Imam Bukhari, Muslim dan al-Hakim dalam kitab-kitab hadith mereka. Aisyah r.a. menyatakan: “Sesungguhnya permulaan wahyu datang kepada Rasulullah s.a.w. melalui mimpi yang benar di waktu tidur. Mimpi itu jelas dan terang bagaikan terangnya pagi hari. Kemudian dia gemar menyendiri dan pergi ke gua Hira’ untuk beribadah beberapa malam dengan membawa bekal. Sesudah kehabisan bekal, beliau kembali kepada isterinya Khadijah r.a., maka Khadijah pun membekalinya seperti bekal terdahulu sehinggalah beliau didatangi dengan suatu kebenaran (wahyu) di gua Hira’ tersebut, apabila seorang malaikat (Jibril a.s.) datang kepadanya dan mengatakan: “Bacalah!” Rasulullah menceritakan, maka aku pun menjawab: “Aku tidak tahu membaca.” Malaikat tersebut kemudian memeluk-ku sehingga aku merasa sesak nafas, kemudian aku dilepaskannya sambil berkata lagi: “Bacalah!” Maka aku pun menjawab: “Aku tidak tahu membaca.” Lalu dia memeluk-ku sampai aku rasa sesak nafas dan dilepaskannya sambil berkata: “Bacalah!” Aku menjawab: “Aku tidak tahu membaca.” Maka dia memeluk-ku buat ketiga kalinya seraya berkata: “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Dan Tuhanmu yang Maha Pemurah! Yang mengajar dengan perantaraan kalam dan mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya”. Setelah berlaku peristiwa itu kembalilah Rasulullah s.a.w. kepada isterinya Khadijah (membawa ayat-ayat ini) dengan tubuh menggigil………sehinggalah akhir hadith.” (al-Hadith).
Imam-imam yang lain seperti al-Hakim dalam al-Mustadrak, al-Baihaqi dalam al-Dala’il dan al-Tabrani dalam al-Kabir mengesahkan ayat tersebut adalah yang pertama diturunkan.
ii) Pendapat lain mengatakan Surah al-Muddathir yang pertama kali diturunkan berdasarkan hadith yang diriwayatkan oleh Jabir bin ‘Abdullah seorang sahabat. Daripada Abu Salamah bin Abdul Rahman, dia berkata: “Aku telah bertanya kepada Jabir bin ‘Abdullah: Yang manakah di antara al-Quran mula-mula diturunkan? Jabir menjawab,” يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ “. Aku berkata, “Atau اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ “. Dia Jabir berkata,”Aku katakan kepada-mu apa yang dikatakan Rasulullah s.a.w. kepada kami: “Sesungguhnya aku berdiam diri di gua Hira’. Maka ketika habis masa diam-ku, aku turun lalu aku susuri lembah. Aku lihat ke depan, ke belakang, ke kanan dan ke kiri. Lalu aku lihat ke langit, tiba-tiba aku melihat Jibril yang amat menakutkan. Maka aku pulang ke Khadijah. Khadijah memerintahkan mereka untuk menyelimuti aku. Mereka pun menyelimuti aku.
Lalu Allah menurunkan: ْ يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ قُمْ فَأَنْذِر“Wahai orang yang berselimut; bangkitlah, lalu berilah peringatan”.
. Mengenai hadith Jabir ini, dapatlah disimpulkan iaitu pertanyaan tersebut adalah mengenai surah yang diturunkan secara penuh. Jabir menjelaskan yang surah Muddathir diturunkan secara penuh sebelum surah Iqra’ selesai diturunkan, karena yang turun pertama sekali daripada surah Iqra’ itu hanyalah permulaannya saja. Ini diperkuatkan oleh hadith Abu Salamah daripada Jabir yang terdapat dalam Sahih Bukhari dan Muslim. Jabir berkata: “Aku mendengar Rasulullah s.a.w. ketika bercakap mengenai putusnya wahyu, beliau menyebut dalam percakapannya itu, “Sewaktu aku berjalan, aku terdengar suara dari langit. Kemudian aku angkat kepala-ku, tiba-tiba aku ternampak malaikat yang mendatangi aku di gua Hira’ duduk di atas kursi antara langit dan bumi, lalu aku pulang dan aku katakan: Selimutkanlah aku!


Mereka pun menyelimuti aku. Lalu Allah menurunkan ayat,
يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ .
Hadith ini menggambarkan peristiwa ini terkemudian daripada peristiwa di gua Hira’, atau al-Muddathir adalah surah yang pertama diturunkan setelah terputusnya wahyu. Dapat disimpulkan ayat pertama untuk kenabian ialah Iqra’ dan surah pertama untuk risalah ialah surah al-Muddathir.
iii) Andaian ketiga ialah berdasarkan satu kenyataan yang diperakukan kepada Ali bin Abi Talib, disebut oleh Abi Ishaq daripada Abi Maisarah. Riwayat yang direkodkan oleh al-Wahidi menyebut: Apabila Rasulullah muncul (dari gua Hira’) dan mendengar suatu suara menjerit, “Wahai Muhammad”, Rasulullah terus pulang ke rumah. Waraqah bin Naufal menasihatkan Rasulullah mendengar kepada suara tersebut. Oleh itu apabila Rasulullah kemudiannya mendengar suara tersebut, beliau menyahut; Suara itu berkata, “Katakanlah, Aku bersaksi sesungguhnya tiada tuhan yang berhak disembah melainkan Allah dan Muhammad pesuruh Allah dan bacalah:
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ‘……..” (al-Fatihah: 1-7)
iv) Sebahagian ulama tabiin seperti al-Dhahhak bin Muzahim berpendapat ayat pertama ialah Bismillah. Dia menyebut ‘Abdullah bin ‘Abbas pernah berkata: Perkara pertama yang diturunkan oleh malaikat Jibril a.s. kepada Rasulullah s.a.w. dengan beliau mengatakan, “Wahai Muhammad, aku berlindung dengan Allah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui daripada Syaitan yang dilaknat, dan katakanlah: Bismillahir Rahmanir Rahim (Dengan Nama Allah Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang.)
Al-Qadhi Abu Bakar al-Baqillani menyebutkan hadith ini sebagai munqati’ dalam kitabnya, al-Intisar. Menurut al-Zarkasyi di dalam kitabnya al-Burhan, sebahagian besar ulama menyatukan hadith riwayat ‘Aisyah dan Jabir dengan menyimpulkan Jabir mendengar Nabi membicarakan peristiwa permulaan wahyu dan dia mendengar bahagian akhirnya sedang bahagian pertamanya dia tidak mendengar. Jadi Jabir menyangka surah yang didengarnya adalah yang pertama diturunkan, pada hal bukan. Ibn Hibban dalam sahihnya menyatakan tidak ada pertentangan antara kedua hadith tersebut kerana ketika turun kepada Rasulullah Iqra’, beliau pulang ke rumah lalu berselimut; kemudian turunlah al-Muddathir.
Surah-surah lain yang awal diturunkan termasuklah al-Masad (111), al-Takwir (81), al-Ala (87), al-Lail (92) dan al-Fajr. Para ulama juga membicarakan ayat-ayat yang mula-mula diturunkan berdasarkan permasalahan atau persoalan tertentu. Di antaranya ia melibatkan i) Pertama kali mengenai makanan-ayat 145 Surah al-An’am, ayat 145 Surah al-Nahl, ayat 173 Surah al-Baqarah dan ayat 3 Surah al-Ma’idah; ii) Pertama kali mengenai minuman- ayat 219 mengenai khamar dalam Surah al-Baqarah, ayat 43 Surah al-Nisa’ dan ayat 90-91 Surah al-Ma’idah; dan iii) Pertama kali mengenai perang iaitu ayat 39 Surah al-Hajj.


2. Yang Terakhir Diturunkan
Pelbagai pendapat mengenai yang terakhir diturunkan tetapi semua pendapat ini tidak mengandungi sesuatu yang dapat disandarkan kepada Rasulullah s.a.w., malah masing-masing merupakan ijtihad atau dugaan. Al-Qadhi Abu Bakar mengatakan mungkin mereka memberitahu apa yang terakhir kali didengar oleh mereka daripada Rasulullah s.a.w. ketika beliau hampir wafat. Antara pendapat tersebut ialah:-
i. Pendapat Ibn ‘Abbas-banyak riwayat yang dikaitkan dengan Ibn ‘Abbas:
a. ‘Amir al-Sha’bi meriwayatkan bahawa ‘Abdullah bin ‘Abbas pernah berkata: “Ayat terakhir diturunkan kepada Rasulullah s.a.w. adalah ayat mengenai riba.” Firman Allah,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba – yang belum dipungut -.” (al-Baqarah:278).
b. Ikrimah meriwayatkan bahawa Ibn ‘Abbas menyebut: Ayat al-Quran terakhir diturunkan adalah,
وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لا يُظْلَمُونَ
“Dan peliharalah diri-mu daripada azab yang terjadi pada suatu hari kamu semua dikembalikan kepada Allah.” (al-Baqarah: 281)
c. ‘Abdullah b. ‘Utbah r.a. katanya, ‘Abdullah bin ‘Abbas berkata kepada saya: “Adakah anda tahu ayat yang terakhir sekali turun? Jawab-ku “tahu” iaitu ِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ (Apabila datang pertolongan Allah dan kemenangan) (al-Nasr: 1). Berkata Ibnu ‘Abbas: “Kamu benar.”
d. Said bin Jubayr mengatakan orang-orang Kufah berselisih tentang ayat,
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا
“Dan sesiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Neraka Jahanam, kekal dia di dalamnya dan Allah murka kepadanya dan melaknatnya serta menyediakan baginya azab seksa yang besar.” (Al-Nisa’:93). Saya menemui Ibn ‘Abbas dan bertanyakan ayat ini dan beliau berkata: “Ayat ini adalah ayat terakhir diturunkan dan selepas itu tidak ada ayat yang menasakhkan ayat ini.”


ii. Pendapat al-Bara bin ‘Azib
Berikut ialah dua kenyataan yang diriwayatkan oleh beliau:-
a. Abu Ishaq al-Sabi’ee meriwayatkan bahawa al-Bara mengatakan: “Surah lengkap terakhir diturunkan ialah surah Baraah.Bukhari vol 3 Kitab al-Maghazi hadith 4364.
b. Abu Ishaq al-Sabi’ee meriwayatkan bahawa al-Bara mengatakan: ”Ayat terakhir diturunkan ialah,
يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلالَة
“Mereka (orang-orang Islam umat-mu) meminta fatwa kepada-mu (Wahai Muhammad mengenai masalah Kalalah). Katakanlah: Allah memberi fatwa kepada kamu di dalam perkara Kalalah itu………(al-Nisa’:176)
iii. Pendapat Ubay bin Ka’ab
Yusuf b. Mihran meriwayatkan daripada ‘Abdullah bin ‘Abbas yang Ubay bin Ka’ab mengatakan potongan ayat al-Quran terakhir diturunkan ialah,
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya telah datang kepada kamu seorang Rasul dari golongan kamu sendiri (iaitu Nabi Muhammad s.a.w) yang menjadi sangat berat kepadanya sebarang kesusahan yang ditanggung oleh kamu, yang sangat tamak (inginkan) kebaikan bagi kamu dan dia pula menumpahkan perasaan belas serta kasih sayangnya kepada orang-orang yang beriman.” (al-Taubah:128)
iv. Pendapat ‘Abdullah bin Amru bin al-‘As
Abu Abdul Rahman al-Halabi mendengar ‘Abdullah b. Amru sebagai berkata: Surah terakhir diturunkan ialah Surah al-Ma’idah.
v. Pendapat ‘Aishah
Jubayr bin Nufayl berkata, “Aku pergi menemui ‘Aishah, yang bertanya kepadaku: Adakah kamu membaca Surah al-Ma’idah? Aku kata: Ya. Dia berkata: Inilah Surah terakhir yang diturunkan……”



vi. Pendapat Umm Salamah
Mujahid b. Jabr mengatakan yang Umm Salamah berkata: “Ayat terakhir diturunkan adalah ayat,
فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّي لا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ فَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَأُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأُوذُوا فِي سَبِيلِي وَقَاتَلُوا وَقُتِلُوا لأكَفِّرَنَّ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَلأدْخِلَنَّهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ ثَوَابًا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الثَّوَابِ
“Maka Tuhan mereka perkenan doa mereka (dengan firmanNya): Sesungguhnya Aku tidak akan sia-siakan amal orang-orang yang beramal dari kalangan kamu, sama ada lelaki atau perempuan……..” (ali-Imran:195)
vii. Pendapat ‘Umar al-Khattab
Abu Sa’id al-Khudry meriwayatkan daripada ‘Umar al-Khatab yang memberitahu ayat terakhir diturunkan ialah pengharaman riba’ (al-Baqarah:275) dan Rasulullah s.a.w. wafat beberapa hari selepas itu dan perkara riba’ tersebut tidak tertinggal tanpa penjelasan.
viii. Pendapat Mu’awiyah bin Abi Sufiyan
‘Amr Qais al-Kufi meriwayatkan Mu’awiyah mengatakan ayat berikut sebagai ayat terakhir diturunkan,
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Katakanlah (wahai Muhammad): Sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepada-ku bahawa Tuhan kamu hanyalah Tuhan Yang Satu; Oleh itu, sesiapa yang percaya dan berharap akan pertemuan dengan Tuhannya, hendaklah dia mengerjakan amal yang soleh dan janganlah dia mempersekutukan sesiapapun dalam ibadatnya kepada Tuhannya.” (al-Kahfi:110)
Sekiranya kita menganalisis pendapat-pendapat di atas, kita akan menghadapi kesukaran untuk menentukan ayat terakhir diturunkan kepada Rasulullah disebabkan perbezaan pendapat tersebut. Walau bagaimanapun kita boleh membuat rumusan berdasarkan logik;
i. Ayat 275 hingga 281 surah al-Baqarah nampaknya diturunkan bersama kerana ayat ini membicarakan persoalan riba’ dan hukum berkaitannya. ‘Umar dan ‘Abdullah Ibn ‘Abbas mengatakan ayat riba merupakan ayat terakhir diturunkan boleh dikatakan tepat memandangkan Rasulullah wafat 9 hari selepas ayat ini diturunkan sebagaimana yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Jubayr dan Ibn Jurayj mengenai ayat 281, surah al-Baqarah.
ii. Pandangan Ibn ‘Abbas mengenai ayat 93 surah al-Nisa’ ialah tentang ayat terakhir berhubung pembunuhan seorang Muslim, bukannya ayat terakhir al-Quran. Manakala pendapatnya mengenai surah al-Nasr tidak menjadi masalah. Surah al-Nasr kemungkinan merupakan surah pendek yang terakhir diturunkan, sementara surah al-Baraah merupakan surah panjang yang terakhir diturunkan. Ini tidak bercanggah dengan pandangan ‘Aishah dan Ibn ‘Amr yang mengatakan surah al-Ma’idah merupakan surah penuh terakhir diturunkan. Mereka bermaksud surah terakhir mengenai perkara halal dan haram.
iii. Pandangan al-Bara tentang ayat 176 surah al-Nisa’ sebagai ayat akhir turun ialah ayat akhir tentang faraid. Apa yang diriwayatkan oleh Ubay bin Ka’ab mengenai ayat 128 hingga 129 surah al-Taubah adalah sebahagian daripada surah tersebut yang diturunkan secara keseluruhan sebagai surah panjang yang terakhir diturunkan. Riwayat Umm Salamah pula bukannya mengenai ayat terakhir tetapi lebih kepada jawapan kepada soalan beliau kepada Rasulullah mengenai kedudukan wanita dalam Islam. Pandangan Mu’awiyah pula jelas merujuk kepada yang terakhir diturunkan di Mekah melibatkan surah al-Kahfi termasuk ayat terakhirnya.
Kesimpulannya, Surah al-Taubah sebagai surah panjang terakhir turun; Surah al-Nasr surah pendek terakhir turun; dan ayat 275 hingga 281 Surah al-Baqarah merupakan ayat terakhir diturunkan.

0 komentar

TAFSIR, TA’WIL DAN KAIDAHNYA oleh Stit At-Taqwa pada 24 Januari 2011 jam 1:41

21.23 | Publish by Kang Wan Setiawan

TAFSIR, TA’WIL DAN KAIDAHNYA


Ketahuilah, bahwa umat Islam sepeninggal Rosulalloh SAW tetap meneruskan jejak langkahnya sampai sekarang baik yang bersifat ubudiyah, muamalah sosial termasuk penelaahan terhadap dan Tafsirnya. Kitab-kitab tafsir yang memenuhi perpustakaan-perpustakaan di Timur Tengah merupakan bukti nyata yang menujukan betapa tingginya semangat dan besarnya perhatian para ulama untuk menggali dan memahami makna-makna kandungan Kitab            Al-Qur’an tersebut. diantara sahabat-sahabat yang yang terkenal sebagai ahli tafsir ada sepuluh orang diantaranya; Abu Bakar Syidiq, Umar bin Khotob ‘Usman bin Afan, Ali bin abi Thalib, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al­-Asy’ary  dan Abdulah bin Zubair.
Diantara empat kholifah yang paling banyak diriwayatkan tafsimya ialah; Ali bin Abi Tholib, selain Ali bin Abi Tholib ada lagi dari kalangan sahabat lainnya yaitu lbnu Mas’ud yang wafat di madinah pada tahun 32 H.

A.      ARTI TAFSIR

Sebagaimana kita ketahui, bahwa kesempurnaan agama duniawi, sekarang maupun nanti, tidak akan sempuma keculai melalui ilmu-ilmu syari’ah dan pengetahuan agama, dan ilmu itu hanya diperoleh melalui orang-orang yang dipercaya (Al-Ma’mun), yang tidak dinodai kesalahan, dan melalui kitab-kitab yang diturunkan kepada orang-orang yang terpercaya tersebut, al-Kitab itu tiada lain yaitu al-Qur-an dan orang yang dipercaya itu adalah Muhammad SAW. Untuk lebih mudah dan cepat memahami Al-Qur’an tersebut, maka perlu mempelajari tafsir dan ilmunya
Tafsir secara harfiah (etimologi) berarti “Menjelaskan dan Mengungkapkan” atau Menerangkan, sedangkan menurut istilah (terminologi) tafsir ialah Ilmu yang menjelaskan maksud ayat al-Qur’an sesuai dengan kemampuan manusia (setelah memenuhi syarat-­syarat tertentu).
Menurut al-Ragib al-Asfahani, tafsir itu luas pengertiannya dan sasaranya adalah “kata dan maksud kata itu”. Sedangkan menurut al-Maturidi, tafsir adalah; “memastikan makna kata berdasarkan petunjuk yang pasti”.
Menurut al-Kilby dalam At Tas-hiel:
التفسير هو شرح القران وبيان معناه والافصاح بما يقتضيه بنصه او اثارته او مجواه
Artinya: “Tafsir itu ialah Mensyarahkan Al-Qur’an, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendakinya dengan nasnya atau dengan isyaratnya, ataupun dengan tujuannya”.
Menurut Az-Zarkasiy dalam al-Burhan.
التفسير هو بيان معانى القران واستخراج احكامه وحكمه 
Artinya: Tafsir itu ialah; Menerangkan makna-makna al-Qur an dan mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya”.
Bagi ulama-ulama mutaahirin, tafsir itu adalah  mengungkapkan makna lahiriyah dari pernyataan Al-Qur’an, seringkali pada suatu tempat berbicara secara sepintas lalu mengenai masalah tertentu, maka ada kalanya suatu ayat ditafsirkan oleh ayat lain. Oleh karena itu, sumber tafsir yang utama adalah Al-Qur’an itu sendiri. Sumber  tafsir kedua adalah Nabi, dan bila Nabi sendiri tidak menjawab dari masalah yang ditanyakan maka turun ayat yang menjelaskannya. Setelah Nabi wafat, sahabat adalah sumber tafsir ketiga yang menjelaskan ayat berdasarkan yang mereka dengar dari nabi sewaktu masih ada, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau ijtihad mereka sendiri.
Kegiatan mufasir pada periode ini lebih banyak ditujukan pada penjelasan teks qira’at mutawatir, selanjutnya pada periode tabi’in terdapat tiga pusat tafsir yaitu di Mekah yang bersumber pada abd Alloh bin Abbas yang kemudian dikembangkan muridnya yaitu; Sa’ad bin Jabir Muiahid bin Jabr. ikrimah. Tawus bin Kisan al Yamani dan Ta’bi bin Rabah.
Pusat tafsir Kedua yaitu di Madinah sahabat yang mengembangkannya yaitu ubay bin Ka’ab yang dilanjutkan murid-muridnya yaitu: Abu al-Aliyyah, Muhammad bin Ka’ab al­-Quraiysi dan Zaid bin Aslam. Adapun pusat tafsir yang ketiga yaitu di Kufah yang berasal dari Abdullah bin Masud dilanjutkan oleh al-Qamah bi Qais, Masruq, Al-Aswad bin Yajid, Murah al-Hamdani, Amir al-Syabi, at-Haan al-Basri dan Qatadah.

B.       METODE TAFSIR

Para ulama telah menulis dan mempersembahkan karya-karya mereka di bidang tafsir, dan menjelaskan metode-metode yang digunakan oleh masing-masing tokoh tafsir. Metode-metode tafsir yang dimaksud adalah: Metode Thalily, Metode Ijmali dan Metode Muqoron.

C.      AI-Tafsir Tahlily

Tafsir al-Tahily adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan Kandungan ayat-ayat al-Qur’an dar seluruh aspeknya, penafsirannya mengikuti runtutan. ayat sebagaimana yang telah tersusun di dalam mushaf. Penafsir memulai uraiannya dengan menggunakan arti kosa Kata diikuti dengan penjelasannya mengenai arti globalnya ayat. Ia juga mengemukakan munasabah (korelasi) ayat-ayat serta menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat tersebut satu sama lain.
Selanjutnya, mereka juga mempunyai kecenderungan dan arah penafsiran yang aneka ragam (potnot suyuti) ditinjau dari segi kecenderungan para penafsirnya, methode Tahlily ini dapat dibedakan kepada (1) al-tafsir bi al-Ma’tsur (2) al-Tafsir  bi al-ra’yi (3) al-Tafsir al-Sufi (4) al-Tafsir al-Fiqhi (5) al­Tafsir al-Falsafi (6) al-Tafsir a- ‘Ilmi   (7) al-Tafsir al-Adab al-Ijtima’i.
1. AI-Tafsir bi Al-Ma’tsur
Al-Tafsir bi Al-Ma’tsur adalah penafsiran ayat dengan ayat; penafsiran ayat dengan hadits yang menjelaskan makna sebagai ayat yang dirasakan sulit dipahami para sahabat atau penafsiran ayat dengan hasil  ijtihad para sahabat;atau penafsiran dengn hasil ijtihad para tabi’in. semakin jauh rentang zaman dari masa Nabi dan sahabat, maka pemahaman umat tentang makna-makna             Al-Qur’an semakin bervariasi dan berkembang. Periodesasi perkembangan al Tafsir  bin al-Ma’tsur ini ada dua , yaitu;
Pertama: Periode lisan ini lazim di sebut periode periwayatan. Pada periode ini adalah para sahabat menukil atau mengambil penafsiran dari Rosululloh SAW. Atau oleh sahabat dari sahabat atau oleh tabi’in dari  sahabat, dengan cara penukilan yang apa dipercaya, teliti dan memperhatikan jalur periwayatannya.
Kedua: Periode  Tadwin (kodifikasi-penulisan). Pada periode ini, yang proses penukilannya Pada periode pertama, dicatat dan dikodifikasikan. Pada mulanya kodifikasi tersebut dimuat dalam kitab-kitab hadits,  setelah tafsir resmi menjadi disiplin ilmu yang otonom, maka ditulis dan terlibatlah karya-karya tafir yang secara khusus memuat tatsir bil-al-ma’tsur lengkap dengan jalur sanad sampai kepada Rosulaloh SAW, kepada para sahabat, tabi’in dan tabi’in al-tabi’in.­
2. AI-Tafsir bi Al-Ra’y 
AI-Tafsir bi al-Ra’y adalah penafsiran Al-Qur’an dengan jalan ijtihad, terutama setelah seorang penafsir itu betul-betul mengetahui perihal bahasa Arab, asba al-nuzul, nasikh-mansukh dan hal-hal lain yang diperlukan oleh lazimnya seorang penafsir.
3. AI-Tafsir al-Sufi
Seiring dengan perkembangan cakrawala budaya dan berkembang pesatnya ilmu pengetahuan, Tasauf dan membentuk kecenderungan para penganutnya menjadi dua arah yang mempunyai pengaruh di dalam penafsiran al-Qur’an al-Karim
a.               Tasauf Teoritis
Para penganut aliran ini mencoba meneliti dan mengkaji al-Qur’an berdasarkan teori-teori mazhab dan sesuai dengan ajaran-ajaran mereka, mereka berupaya maksimal untuk menemukan di dalam al-Qur’an tersebut, faktor-faktor yang mendukung teori dan ajaran mereka. Sehingga mereka tampak terlalu berlebih-lebihan di dalam memahami ayat-ayat dan penafsirannya sering keluar dari arti dazhir yang dimaksud oleh syara dan didukung oleh kajian bahasa. Penafsiran yang demikian ditolak, dan sangat<span> </span>sedikit jumlahnya.
b.    Tasauf Praktis
Yang dimaksud dengan Tasauf praktis adalah; tasauf yang mempraktekan gaya hidup sengsara, zuhud dan meleburkan diri di dalam ketaatan kepada Alloh Ta’ala. Para tokoh aliran , menamakan tafsir mereka dengan al-Tafsir al-Isyari, yaitu menta’wil ayat-ayat, berbeda dengan arti zahirnya, berdasarkan isyarat-isyarat tersembunyi yang hanya tampak jelas oleh pimpinan suluk, namun tetap dapat dikompromi dengan arti zhahir yang dimaksud. Penafsiran semacam ini dapat diterima selama memenuhi kriteria atau syarat-­syarat berikut:
1) Tidak menafikan arti zhahir ayat
2) Didukung oleh adili syara tertentu
3) Tidak bertentangan dengan syara dan akal
4) Penafsiran tidak  boleh mengklaim. bahwa itulah satu-satunya penafsiran yang di maksud dan menafikan sepenuhnya arti zhuhir, akan tetapi harus mengakui at zahir tersebut lebih dahulu.
4. Al-Tafsir Al-Fiqhi
Berbarengan dengan lahirnya al-Tafsir bi al-Ma,stur, lahir pula al-Tafsir al-Fiqhi dan sama-sama di nukil dari nabi SAW tanpa perbedaan antara keduanya. Para sahabat setiap menemukan kesulitan untuk memahami hukum yang di kandung oleh al-Qur’an langsung bertanya Kepada Rosullulah, dan beliau langsung menjawab. Jawaban rosululloh SAW ini, di satu pihak, adalah  al-Ma’tsur dan di lain pihak, sekaligus sebagai tafsir al-Fiqhi. Sepeninggalannya Rosulluloh SAW, para sahabat langsung mencari keputusan hukum dari al­Qur’an dan berusaha menarik Kesimpulan hukum syariah berdasarkan ijtihad; hasil ijtihad mereka ini disebut Tafsir al-Fiqhi. Demikian pula halnya yang terjadi dimasa dan dikalangan para tabi’in, sehingga tafsir ini terus tumbuh dan berkembang bersama dengan pesatnya perkembangan ijtihad.
1.    Tafsir al-Falsafy  
Latar belakang lahirnya tafsir ini karena berbagai corak tafsir, juga karena tersebar luasnya dan bertemunya aneka kebudayaan diwaktu itu. Ditengah-tengah pesatnya perkembangan ilmu dan budaya ini, gerakan penerjemah tumbuh dan giat dilaksanakan di masa Dinasti Abbas. Berbagai pembendaharaan ilmu digali. dan aneka pustaka diterjemahkan. Termasuk buku-buku filsafat karya para filosof Yunani.
Pertama; Golongan yang menolak falsafah, karena mereka menemukan adanya pertentangan antara falsafah dan agama, Kelompok ini secara radikal menentang falsafah dan umat darinya. Tokoh pelopor kelompok ini adalah al-Imam al-­Ghazali dan al-Fakr al-Razi. Tokoh yang disebut terakhir ini, di dalam kara tafsimya, membeberkan ide-ide falsafah yang dipandang bertentangan dengan agama, khususnya dengan al-Qur’an, dan akhirnya ia dengan tegas menolak falsafah berdasarkan alasan dan dalil yang ia anggap memadai.
Kedua; Golongan yang mengagumi dan menerima filsafat. Meskipun di dalamnya terdapat ide-ide yang bertentangan dengan syara. Kelompok ini berupaya mengkompromikan atau mencari titik temu antara filsafat dan agama serta berusaha untuk menyingkirkan segala pertentangan. Namun usaha mereka belum berhasil mencapai titik temu yang final, melainkan masih berupaya usaha pemecahan masalah secara setengah­-setengah, sebab penjelasan mereka tentang ayat-ayat al-Qur’an semata-mata berangkat dari sudut pandang teori falsafah yang didalamnya banyak hal tidak mungkin diterapkan dan dipaksakan terhadap nash-nash al-Qur’an.
1.    Tafsir Ilmi
Ajakan al-Qur’an adalah ajakan ilmiah, yang berdiri diatas prinsip pembebasan akal dari tahayul keme<span>r</span>dekaan berpikir. AI-Quran menyuruh umat manusia memperhatikan alam. Alloh SWT  disamping menyuruh kita memperhatikan wahyu-Nya yang tertulis. Sekaligus disuruh memperhatikan alam sekitarnya, terbukti dengan banyak ayat yang terdapat dalam Qur’an dengan kalimat.
Meskipun ayat-ayat kauniyah itu secara tegas dan khusus tidak ditujukan kepada para ilmuwan, namun pada hakikatnya mereka itulah yang diharapkan untuk meneliti dan memahami ayat-ayat kauniyah tersebut, karena mereka mempunyai sarana dan kopetensi untuk itu dibanding  tokoh –tokoh bidang ilmu lainnya.
Akan tetapi, terhadap ayat-ayat kauniyah tersebut masih terbatas pada ayat-ayat tertentu dan bersifat  parsial, terpisah dari ayat-ayat lain yang berbicara mengenai masalah yang sama.
Diantara para ulama terdahulu yang gigih mendukung corak tafsir al-Ilmi adalah;
 -    al-Imam al-Fakh al-Razi. dengan tafsimya Mafatih I-Ghaib
 - al-Imam al-Ghazali. Jawahir  al-Qur’an dan Ihya `Ulmud-Din
-   al-Imam al-Suyuthi dengan kitabnya al-Itqan
Dewasa ini meskipun ada ulama yang menolak, karya-karya tafsir corak ini mulai bermunculan dan mendapat perhatian besar dari para peneliti dan ilmuwan.
2.    Al-Tafsir al-Adabi al-Ijtima’l
Corak tafsir ini memahami nash-nash al-Qur’an dengan cara, pertama dan utama, ungkapan-ungkapan al-Qur`an secara teliti; selanjutnya menjelaskan makna yang maksud oleh Al-Qur’an tersebut dengan gaya bahasa yang indah dan dan menarik langkah berikutnya, penafsir berusaha menghubungkan nash-nash al-Qur’an yang tengah dikaji dengan kenyataan sosial dan sistem budaya yang ada. Pembahasan tafsir ini sepi dari penggunaan istilah-istilah ilmu dan teknologi dan tidak akan menggunakan  istilah-istilah  tersebut kecuali jika dirasakan perlu dan  hanya sebatas kebutuhan.

D.    AL-TAFSIRAL-IJMALY

AI-Tafsir al-Ijmali adalah suatu metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan mengemukakan makna global. Di dalam sistematik uraiannya, penafsir akan membahas ayat demi ayat sesuai dengan susunan yang ada dalam mushaf; kemudian mengemukakan makna global yang dimaksud oleh ayat tersebut. Maka yang diungkapkan biasanya diletakan di dalam rangkaian ayat-ayat atau menurut pola-pola yang diakui oleh jumhur ulama, dan muda dicerna, dipahami oleh semua orang.
Dengan demikian, penafsiran metode ini mengikuti cara dan susunan al-Qur’an yang membuat masing-masing makna  saling berkaitan dengan yang lainnya.

E.       AL-TAFSIR AL-MUQARAN (Metode Perbandingan)

Yang dimasksud dengan metode ini adalah; mengemukakan penafsiran ayat al­Quran yang ditulis oleh sejumlah para penafsir. Disini seorang penafsir menghimpun sejumlah ayat al-Qur’an, kemudian ia mengkaji dan meneliti penafsiran sejumlah penafsir mengera melalui kitab-kitab tafsir mereka, apakah mereka penafsir dari generasi salaf atau  dar generasi kholaf, apakah tafsir mereka itu Tafsir bi al-Ma’stur maupun Tafsir abi al-Ra’yu.
Corak tafsir Mukoron ini mempunyai ruang lingkup dan wilayah kajian yang luas. Methode ini dapat juga dilakukan dengan cara memperbandingkan sejumlah ayat-ayat Al­-Qur’an yang berbicara satu topik masalah, atau memperbandingkan ayat-ayat al­-Qur’an dengan hadits-hadits  Nabi yang secara lahiriyah tampak berbeda.

F.    Arti Ta’wil

Takwil secara lughawi berarti “pengembalian“ tetapi dalam rangka penafsiran Al-Qur’an, kata itu telah mengalami perkembangan makna. Ulama-ulama salaf memberikan pengertian Takwil adalah; sama maksudnya dengan tafsir, sedangkan ulama-ulama Mutaakhirin mendefinisikan takwin ialah; memilih suatu makna kata yang dipandang lebih kuat dari pada banyak makna karena terdapat alasan yang kuat untuk itu.
Menurut As-Said Al Jurjany:
التأويل هو صرف اللفط عن معناه الظاهر الى معنى يحتمله اذا كان للمحتمل الذى يراه موافقا للكتاب والسنة
Artinya: Ta’wil ialah; Memalingkan Lafadh dari makna yang dhahir kepada makna yang muhtamil, apabila makna yang muhtamil itu tidak berlawanan dengan Al-Qur’an dan Assunnah.
            Para ulama membedakan antara Ta’wil dan tafsir dan dari sasaran dan alat yang dipakai untuk menerangkan makna. AI-Raghib al-Asfahani berpendapat bahwa Ta’wil lebih menekankan segi makna. Al-Maturidi  menyatakan Takwil adalah menetapkan suatu pengertian dari sekian banyak banyak kosa kata Al-Qur’an berdasarkan alasan yang kuat untuk itu. Abu Thalib Al-Tsa’labi, menjelaskan bahwa Takwil menerangkan arti yang tersembunyi dari kata-kata Al-Qur’an. AI-Bagawi menyatakan Takwil  adalah; mengalihkan makna ke makna lain yang dimungkinkan selama tidak bertentangan            dengan ayat lain dan sunnah.
Para ulama telah bersepakat bahwa  mempelajari tafsir itu termasuk Fardu kifayah ini termasuk salah satu dari sekian banyak ilmu agama. Al-Qur’an diturunkan oleh Alloh dengan menggunakan bahasa Quraisy, disesuaikan  dengan dialek Bangsa Arab.
Para Mufasir telah berselisih  pendapat dalam memberi makna Tafsir dan Ta’wil: Kata Abu Ubaidah; tafsir dan Ta’wil satu makna. Kata Ar Raghib Al Asfahany; Tafsir lebih umum daripada Ta’wil. Dia lebih banyak dipakai mengenai kata-kata tunggal. Sedangkan ta’wil lebih banyak dipakai mengenai makna d a n  susunan  Kalimat. Kata Al-Maturidy Tafsir ialah; menetapkan apa yang dikehendaki oleh ayat (lapadh) dan dengan sungguh-sungguh menetapkan; demikianlah yang dikehendaki Alloh Maka jika ada dalil yang membenarkan penetapan itu, dipandanglah tafsir yang shaih. Kalau tidak, dipandanglah tafsir yang  fikiran yang tidak dibenarkan. Ta’wil ialah; mentarjehkan salah satu makna yang mungkin di terima oleh ayat (Lafadh) yakni salah satu muktamilat, dengan tidak meyakini bahwa demikian yang sungguh-sungguh di kehendaki Alloh.

G.      Kegunaan Tafsir

Tafsir al-Qur’an al-Karim itu mempunyai banyak kegunaan atau     faedah, antara lain:
1.        Mengetahui sesuai dengan kemampuan, maksud Alloh yang terdapat di dalam syari’at-Nya yang berupa perintah dan larangan, yang dengannya keadaan manusia menjadi lurus dan benar.
2.        Untuk mengetahui petunjuk Alloh mengenai akidah, ibadah, dan Akhlaq, agar individu dan masyarakat berhasil memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
3.        Untuk mengetahui aspek-aspek kemu’jizatan di dalam al-Qur’an Al-Karim, sehingga orang mempelajari hal tersebut sampai kepada keimanan terhadap kebenaran Risalah Nabi SAW.

H.      Syarat-syarat Penafsir

Orang yang bermaksud menafsirkan Al-Qur’an Al-Karim harus memenuhi syarat-syarat tertentu diantaranya :
1.        Memiliki I’tikad yang benar dan mematuhi segala aturan ajaran islam. Seseorang yang mendustakan Agama tidak dapat dipercaya dalam soal keduniaan, maka bagaimana ia dapat dipercaya dalam soal urusan agama? Begitu pula, seseorang yang dituduh menyimpang dari ajaran agama tidak dapat dipercaya, karena ia akan menyebarkan fitnah dan akan menyesatkan orang banyak dengan kebohongannya. Demikian pula orang yang di duga di kendalikan oleh hawa nafsu, sangat mungkin hawa nafsu akan mendorongnya sesuai dengan keinginan nafsunya tersebut.
2.        Mempunyai Tujuan yang benar Artinya, seorang penafsir, dengan karya tafsirnya, harus semata-mata bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Alloh bukan untuk tujuan lain, seperti untuk mendapatkan pujian atau sanjungan, mencari popularitas dan tujuan lainnya selain mendekatkan diri kepada Alloh Swt. sebab seseorang mencintai dunia, maka sangat mungkin ia menggunakan karyanya untuk mencapai tujuan-tujuan duniawi. Hal demikian dapat memalingkan dari niat atau tujuan semula sehingga nilai amalnya bisa rusak.
3.     Seorang mufasir seyogyanya hanya berpegang kepada dalil nakli dari Nabi, dari sahabat, dan orang-orang yang hidup sejaman dengan mereka, serta menghindari segala sesuatu yang tergolong bid’ah.
4.        Seorang Mufasir harus mempunyai ilmu-ilmu yang semestinya diperlukan oleh penafsir, yaitu ada lima belas macam ilmu.
Ilmu yang harus di kuasai oleh Mufasir:
1.        Ilmu Bahasa Arab, sebab hanya dengan ilmu ini arti dan maksud kosakata dapat diketahui.
2.        Ilmu Nahwu. Karena arti suatu kosakata selalu berubah dan berbeda-beda menurut perbedaan statusnya (I’rab) di dalam stuktur kalimat, maka Ilmu Nahwu ini penting di mengerti.
3.        Ilmu Tashrif atau Ilmu Sharf.  Karena dengan ilmu ini bentuk Kosa kata dan kalimat dapat diketahui.
4.        Ilmu Istiqaq (asa!-usul kosa kata). Sebab suatu isim (kata benda) itu mempunya arti yang berbeda apabila pengambilannya berasal dari dua akar kata yang berbeda seperti kosa kata al-masil apakah berasal dari kata al-siyahah atau dari akar kata al-mashu ?.
5.        Ilmu al-Ma’ani. Dengan ilmu ini karakteristik struktur kalimat dapat diketahui dari segi indikasi maknannya.
6.        Ilmu al-Bayan. Dengan ilmu ini karakteristik stuktur kalimat dapat diketahui dari segi perbedaannya berdasarkan Kejelasan dan ketidak jelasan indikasinya.
7.        Ilmu Badai’ Dengan ilmu ini segi-segi keindahan kalimat dapat diketahui. Ketiga macam ilmu ini disebut dengan ilmu al-Balaghah, Ini merupakan ilmu yang paling penting bagi seorang mufasir, sebab seorang penafsir dituntut harus memperhatikan aspek-aspek kemukjizatan al-Qur’an.
8.        Ilmu al-Qira’at. Melalui ilmu ini cara mengucapkan al-Qur’an dapat di ketahui, dan dengan ilmu ini bacaan-bacaan yang masih mengandung beberapa kemungkinan dapat di tarjih
9.        Ilmu Ushuluddin. Didalam al-Qur’an ini ada ayat-ayat yang arti zahirnya tidak boleh ditunjukan kepada Alloh . Oleh sebab itu para ahli ushuluddin menta’wilkan arti ayat tersebut dengan menggunakan argumen atau dalil mengenai yang mustahil, yang wajib dan yang boleh,
10.  Iimu Ushul al-Faqh. Melalui ilmu ini arah istidlal dan istinbhat hukum dapat diketahui.
11.    Ilmu Asbab-an-Nuzul. Dengan ilmu ini maksud suatu ayat dapat diketahui sesuai dengan peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat tersebut
12.    An-Nasikh dan al-Mansukh, untuk membedakan dan mengetahui antara lafazh muhkam dan yang lainnya.
13.    Ilmu Fiqh.
14.    Hadits-hadits Nabi, yang menafsirkan mujmal dan mubham.
15.    Ilmu al-Mauhibah, yaitu ilmu yang di anugrahkan oleh Alloh kepada orang yang mengamalkan apa yang ia ketahui.

I.         Kaidah-Kaidah Tafsir

Kaidah berarti aturan dan aturan berarti penentuan antara yang benar dan yang salah. Maka kaidah tafsir membenkan pengertian aturan yang disusun agar bisa menghindarkan dari penafsiran yang salah. dengan premis diatas dapat kita asumsikan bahwa para ulama ahli tafsir dalam menentukan kaidah-kaidah  tafsir al-Qur’an tidak dibuat secara sembarangan tapi dengan penuh kesungguhan dan ketelitian. Sungguhpun itu sebuah upaya dan rekayasa manusiawi namun secara aksioma kita tidak memungkiri bahwa kaidan-kaidah tersebut menjadi kemestian untuk kita pahami dan kita ikuti sebelum kita memasuki dunia tafsir al-Qur’an.
Imam Asuyuthy membahas cukup panjang dan terperinci hal-hal yang berkaitan dengan Kaidah bahasa. Hal yang berkaitan dengan Dhomir (kata ganti) saja ibnu Arabi Menyusunnya secara tersendiri dalam dua jilid kaidah-kaidah kebahasaan tidak hanya yang berkaitan dengan nahwu dan sharaf tapi juga dengan ilmu pembahasan ilmu balaghah yang terdiri dari ilmu-ilmu ma’ani bayan dan badai yang antara lain pembahasannya tentang hakiki dan majazi, kinayah dan ta’aruld dan lain sebagainya.
Asy Suyuthi Abdurahman bin Nashir as-Sa’di membahas secara khusus berkenaan kaidah tafsir dalam karyanya AJ-Oowaid al-Hisan li Tafsir al-Qur’an. tidak kurang dari 70 kaidah penafsiran al-Qor’an yang la jelaskan. Beliau menyebutkan Kaidah pertama tentang cara mempelajari tafsir Setiap orang yang menelusuri suatu perjalanan, mengerjakan suatu perbuatan dan ia melakukan pendekatan secara profesiona! serta menempuh jalan-jalannya yang menentukannya kearah itu maka ia pasti beruntung dan sukses dalam perjalanannya tersebut.
Al-Qur’an satu sama lain saling menafsirkan. Oleh karena itu didalamnya teks-teks Al­-Qur’an yang bersifat mantuq dan mafhum, mujmal dan mufasal, mutlaq dan muqayyad, am dan khash. Hal ini telah dikaii oleh berbagai ulama dari berbagai disiplin ilmu. 
Syaikh Rasyid Ridha berkata: AI-Qur’an hanya dapat dipahami dan di mengerti oleh orang-orang yang mengkonsentrasikan mata, wajah dan hatinya dalam membacanya, baik di dalam maupun diluar shalat. Penafsiran terhadap al-Qur’an senantiasa mengacu kepada inti dan kandungan al­Qur’an, mengarah kepada penjelasan makna yang dikehendaki dan hukum-hukum yang terkandung dalam ayat serta menggambarkan makna yang tinggi. Menurut pola-pola yang diakui oleh jumhur ulama, dan mudah dicerna, dipahami  oleh semua orang.
Dengan demikian, penafsiran metode ini mengikuti cara dan susunan al­Qur’an yang membuat masing-masing makna saling berkaitan dengan yang lainnya.

0 komentar
« Postingan Lebih Baru Postingan Lama »
Langganan: Postingan (Atom)

asma'ul husna wan setiawan

wan's calendar

hours wan setiawan

Mengenai Saya

Foto saya
Kang Wan Setiawan
masih ingin terus belajar
Lihat profil lengkapku

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.

daftar kunjungan


ShoutMix chat widget

Blog Archive

  • ▼  2011 (33)
    • ▼  Juli (33)
      • Rubah dan pangeran Kecil
      • Adez The Journey Part II
      • Madrasah dan Sekolah Islam Unggulan oleh Stit At-T...
      • Sejarah Pendidikan Agama Islam Masa Abbasiyah (MK:...
      • SEJARAH TAFSIR KLASIK DAN MODERNKKN 2011 Kec. Ibun...
      • PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA oleh Stit At-Ta...
      • Hakikat dan Urgensi Bimbingan dan Konseling oleh S...
      • ADMINISTRASI PENDIDIKAN MANAGEMENT DAN KEPEMIMPINA...
      • HAKIKAT PENDIDIKAN ISLAM (MK: FILSAFAT PENDIDIKAN ...
      • Pengertian Penelitian, Metode Penelitian Dan Berfi...
      • PENGERTIAN MAKKIYAH & MADANIYAH DAN PERKARA BERKAI...
      • PENURUNAN AL-QURAN (NUZUL AL-QURAN) oleh Stit At-T...
      • TAFSIR, TA’WIL DAN KAIDAHNYA oleh Stit At-Taqwa pa...
      • SEMBILAN CIRI MANUSIA TERBAIK oleh Stit At-Taqwa p...
      • TAHAPAN-TAHAPAN PENELITIAN KUALITATIF oleh Stit At...
      • Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan PraktikPend...
      • Sekilas Tentang Metodologi Penelitian oleh Stit At...
      • Nilai Edukatif dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz
      • Amm dan KhosPuji dan syukur marilah kita panjatkan...
      • Aliran Pragmatisme dan Progresivisme Pendidikan (F...
      • Sejarah Perkembangan Ilmu Logika (1)
      • Definisi dan Pengertian Ilmu Logika/ kalam
      • IBADAH DAN TEKHNOLOGI MODERN
      • SEBAB-SEBAB TERJADINYA PERBEDAAN PENDAPAT DALAM HU...
      • SWEET HOLIDAY
      • SuntingKilas balik 2010oleh El Wan's pada 21 Des...
      • 01 january 2010 kembali bertemu dengan orang terk...
      • FILSAFAT ILMU
      • PENGERTIAN AKHALAK TASAWUF
      • FSIKOLOGIS PENDIDIKAN
      • PENGERTIAN FILSAFAT
      • SAYA BELAJAR DAN KU KATAKAN CINTA
      • hi gorgeous
Copyright (c) 2010 Curhat Bersama Kang Wan Setiawan. Design by Template Lite
Download Blogger Templates And Directory Submission.